Suara klakson angin itu
menjerit panjang. Aku pun turun dari gerbong kereta dan berjalan merangkul tas
ranselku sambil sibuk merapihkan kertas-kertas yang ada dalam map di
genggamanku yang hampir berjatuhan menuju pintu keluar. Tiba-tiba dari arah
berlawanan, seorang lelaki menabrakku hingga kertas-kertas dalam map pun
terbang menyebar. Berulang kali ia memiinta maaf padaku sambil memunguti dan
menyusun kertas-kertas itu. Saat aku perhatikan lelaki ini, ku rasa aku pernah
mengenalnya, tetapi aku lupa. Saat ku perhatikan jam tangan yang dipakai pada
pergelangan tangan sebelah kiri, jam itu terlihat sama persis seperti seseorang
yang dulu aku kenali dan sering melihatnya di sekolah.
“eh
maaf.. maaf ya..” ucap lelaki ini yang sedari tadi tiada
henti berkata maaf padaku sambil menyusun kertas-kertas.
“iya
gapapa..” jawabku.
Saat kami berdiri, kami
sempat bertatap mata sejenak dan tatapan lelaki ini membuat jantungku berdebar
tak menentu. Pikirku, apa lelaki ini lupa padaku? Atau tak pernah mengenaliku?
Lalu mengapa aku merasa begitu mengenalinya tetapi aku lupa siapa dia. Lelaki
ini terus saja meminta maaf kepadaku sampai-sampai ia mengajakku untuk berbicara
sejenak di sebuah cafe mini di stasiun kereta ini. Di sebuah bangku cafe mini
dalam stasiun, aku duduk sambil memandang gerbong-gerbong kereta api yang
melaju dengan lambat dibalik kaca cafe mini ini.
lalu tak lama lelaki itu datang membawa nampan berisi dua buah roti dan dua gelas susu coklat hangat. Lalu kami mulai percakapan dan bebagi pengalaman tanpa sebuah perkenalan. Ternyata dia baru selesai sarjana kedokteran dari salah satu universitas di Jawa Tengah dan dia disana tinggal bersama nenek kakeknya dan sekarang ia kembali ke kota ini untuk tinggal bersama orang tuanya kembali serta bertugas di sebuah rumah sakit di kota ini. Aku sempat ingat akan sesuatu saat lelaki ini menceritakan asal dan tujuan ia kemari. Setelah ku pikir, lelaki ini adalah kakak kelas yang dulu ku sukai sampai-sampai ia mencaci maki aku karena tubuhku yang sangat melebihi batas yaitu Rizmy?.
lalu tak lama lelaki itu datang membawa nampan berisi dua buah roti dan dua gelas susu coklat hangat. Lalu kami mulai percakapan dan bebagi pengalaman tanpa sebuah perkenalan. Ternyata dia baru selesai sarjana kedokteran dari salah satu universitas di Jawa Tengah dan dia disana tinggal bersama nenek kakeknya dan sekarang ia kembali ke kota ini untuk tinggal bersama orang tuanya kembali serta bertugas di sebuah rumah sakit di kota ini. Aku sempat ingat akan sesuatu saat lelaki ini menceritakan asal dan tujuan ia kemari. Setelah ku pikir, lelaki ini adalah kakak kelas yang dulu ku sukai sampai-sampai ia mencaci maki aku karena tubuhku yang sangat melebihi batas yaitu Rizmy?.
“kamu..
Rizmy?” ucapku mengalihkan pembicaraan.
“dari
mana kamu tahu? Kamu siapa?” jawabnya melempar
pertanyaan padaku.
“aku
Rasya.. kamu ingat?”
“Rasya?
Si gendut adik kelas yang sering gangguin aku itu?”
Sungguh aku tak mengira
dan menyangka dari dulu sampai saat ini ia menyimpan rasa benci dan
menganggapku sebagai pengganggu. Aku pun tertunduk dan rasanya aku ingin
melampiaskan rasaku yang ku pendam tetapi aku tak mampu.
“iya,
aku Rasya si gendut yang suka ganggu kamu. Kenapa?”
ucapku dengan nada datar menyembunyikan rasa kesal.
“ha..
kok beda ya?” kata Rizmy sambil memerhatikan tubuhku.
“soal
gendut ya? Please deh, aku sekarang bukan Rasya si gendut lagi!”
jawabku yang langsung merangkul ransel ku lalu pergi meninggalkan cafe mini
ini.
“eh
Ras, tunggu.. besok, mau kan anterin aku ke museum?”
ucap Rizmy sambil memegang tangan ku sehingga langkahku tertahan olehnya.
“oke..
sepulang aku kuliah ya..” jawabku yang langsung pergi
meninggalkan Rizmy menuju pintu keluar.
Langit jingga sudah
menyapa, seperti biasa aku menelusuri jalan sendiri dengan merangkul ransel
sambil membawa tumpukan kertas dalam map. Pak satpam penjaga gerbang perumahaan
itu biasa menyapaku tiap kali aku melewati pos dan aku membalasnya dengan
senyuman. Sepanjang jalan aku memikirkan hal yang baru saja terjadi. Rizmy dia
tak menyangka aku adalah Rasya, dan dia ternyata selama ini menganggapku
pengganggu, tapi mengapa tiba-tiba dia kini datang di hadapanku bahkan sampai mengajakku
agar menemaninya besok untuk mengunjungi museum di kota ini. Mungkinkah ada
sesuatu yang ingin di sampaikannya? Pikirku, mungkin aku saja yang terlalu ke
geeran tentang ini.
Pagi
tiba, seperti biasa aku disambut oleh pagi yang cerah sambil menunggu Andhika
di depan gerbang sekolah. Dia datang seperti biasa dengan style nya yang clasic
dan terlihat seperti seorang kutubuku karena tak pernah lepas dari kacamatanya.
Aku berkusik dalam hati.
“ada apa?” ucapnya dengan
senyuman manis sambil membenarkan kacamatanya yang sedikit terlihat longgar.
Aku
menggeleng. Apa? Dia mendengar aku? gumamku dalam hati. Saat menelusuri jalan
koridor, aku terus memperhatikan wajahnya. Hingga tak aku sadari map dan isinya
terjatuh dan beterbaran di atas lantai koridor. Dengan tulus dan perhatiannya,
Andhika pun ikut turun dan memunguti kertas-ketas. Tanpa disengaja, tanganku
bersentuhan dengan tangannya. Jantungku mulai berdegup tak menentu. Aku baru
saja merasakan hadirnya orang yang selama ini membuatku nyaman dan
bahagia
meskipun aku tak menyadarinya. Ya, dia adalah lelaki berkacamata yang berhidung
mancung dengan tampang culun yang selalu menemaniku kapan saja, Andhika. Dia
selalu menjagaku tanpa lelah semenjak
bertemu di masa SMU sampai saat ini dan aku kira lamanya sudah enam tahun. Tetapi rasa ini sungguh menyiksaku.
Aku
terjebak dalam dua pilihan, aku sangat mencintai Rizmy, bahkan aku telah
mempermalukan diriku hanya untuk dia empat tahun yang lalu. Sejak pertama aku kenal dia, tatapannya itu masih teringat
jelas dalam
memoriku, . Namun, disisi
lain aku merasakan kenyamanan di dekat Andhika yang selalu menemaniku selama
enam tahun. Dia sahabatku, tapi dia juga
nafasku
dan dia selalu menjagaku saat aku dalam
keadaan suka dan duka.
Aku telah dibuatnya
tenang dan damai saat
suasana apapun dan dimanapun, setiap aku merasa terjatuh,
ia selalu memberiku semangat dan
membuatku bangkit lagi.
Mungkin aku terlalu egois terlalu memikirkan
pilihan ini, tapi aku tak bisa selalu
berpura-pura untuk tidak mencintai Andhika, apalagi berpura-pura tidak
mencintai Rizmy, sungguh ini sangat sulit.
Tapi disisi lain kalau emang aku dan Andhika
jadian, aku takut, aku sangat takut kehilangan dia, aku tak mau dia hilang dari mata dan hatiku. Tapi di sisi lain juga aku
ingin
memiliki Rizmy, agar semua orang tau bahwa hanya akulah yang bisa
mencintainya bahkan menantinya selama ini.
Aku selalu menahan rasa sakit ini
ketika teman-temanku menanyakan kedekatan ku dengan Andhika selama ini, aku sakit ketika aku harus bilang “ bukan, dia
hanya sahabatku.” Dan merekapun menjawab “jangan mau dengan dia, dia aneh.” Aku hanya membalas dengan senyuman. Tapi perlahan masalah
itu sudah menjadi hal yang biasa untukku. Karna Andhika mengajarkanku untuk bertindak dan bersikap yang dewasa. Aku
tak berani bilang Andhika adalah
segalanya buat aku, karna aku takut segalanya aku hilang.
Aku berusaha menjadi wanita yang
dewasa yang ingin selalu berfikiran positif, terkadang aku berpikir kalau hubungan aku dengan Andhika sekarang aku takut
jika kami pacaran lalu putus dan tak jauh
lebih bahagia bisa dekat lagi, lebih baik berteman seperti sekarang dan dia tak akan meninggalkan aku, kecuali dia mempunyai cintanya yang baru.
Andhika seseorang yang paling berharga buat aku sekarang, andaikan
aku mampu berkata di depannya saat ini bahwa aku sayang dia dan tak mau
kehilangan dia, mungkin aku akan jauh lebih tenang, tapi beberapa kali aku
mencoba untuk mengatakannya malah yang ada hanya gemetaran yang ku rasa,
mungkin belum saatnya aku berkata seperti itu.
Tawa dan candanya adalah warna di
hidupku, aku tak ingin semuanya begitu cepat berlalu.
Andhika juga adalah salah satu alasan
yang membuatku
nyaman di masa SMU yang dulu yang aku anggap biasa saja. Aku sekarang masih berdiri dihadapannya menjadi teman
biasa, entah akankah posisi itu berubah? akupun
tak tahu .
Sebuah lambaian kini ada
dihadapanku. Siapa? Andhika? Ah pria itu memang selalu memberi perhatian padaku
yang lebih. Kami pun melanjutkan perjalanan hingga kami terpisah di pertigaan
koridor tepat diantara mading kampus melekat disana.
*****
“Rasya..”
Seorang lelaki menepuk
bahuku saat aku tengah berdiri menanti kedatangan seseorang. Ya, Rizmy kini ada
di sini, dia yang telah memanggilku dengan tepukan halus dari tangannya itu.
Kami berjalan menelusuri tempat pejalan kaki menuju ke Museum yang tak jauh
dari stasiun. Tak ku sadari, sedari tadi aku di potret olehnya secara
diam-diam. Ketika suasana mulai terasa hambar, Ia mulai berbicara sesuatu
tentang lelucon yang belum pernah aku dengar. Sampai-sampai perutku terasa
sakit dibuatnya tertawa terbahak-bahak. Saat tubuhku mulai lelah untuk
berjalan, aku pamit padanya untuk pulang terlebih dahulu meninggalkan dia di
tempat ini.
Hari berganti, sore ini aku mendapat ttukas
makalah dari mata kuliah yang kurang cukup menyenangkan. Saat aku mencari
buku-buku untuk bahan pembahasan, dengan tak sengaja tanganku menyentuh tangan
seseorang.
“ma-af........”
Suasana menjadi hening. Tangan itu dalah tangan sesosok pria
yang kemarin mengajakku ke museum, Rizmy. Kali ini ia memakai kemeja biru,
membuat ia lebih terkesan dengan jiwa yang ramah. Kini aku menyadarinya bahwa
ia sekarang telah berubah. Ia pun melemparkan sebuah senyuman kepadaku. Aku
membalasnya. Kami menjauh, saling melirik. Lalu saat aku duduk, ia pun duduk
tepat di hadapanku. Kali ini ia bertanya-tanya mencuri perhatianku. Tak lama
kami berbincang, seorang lelaki berkacamata datang menghampiriku dan mengatakan
agar aku cepat menyelesaikan pencarian buku ini. Tatapan Rizmy terhadapnya
begitu sinis, dan sebaliknya juga. Aku sangat tak mengerti mengapa mereka
saling menatap sinis dengan tajam.
***
Hembusan
angin kencang, Harum pasir putih dan suara ombak ini membuat hatiku sangat
damai. Matahari kini berada di perbatasan antara laut dan langit, Langit mulai
berwarna jingga kemerahan. Karena waktu ini sangan terlihat indah,aku sempatkan
untuk mengucapkan permohonan. Tiba-tiba tangan seseorang meraih tanganku dan
menggenggam nya erat. Pandangan ku pun teralihkan ke arah seorang lelaki
disampingku yang menggenggam tanganku erat. Seketika kemudian dia juga
mengalihkan pandangannya ke arahku. Kami saling bertatap mata. Detak jantungku
kini mulai terasa berdebar sangat kencang. Dia mendekatiku ke hadapanku tanpa
melepaskan genggamannya.
“Rasya..
aku mohon maafkan aku yang dulu...”
“aku
sudah memaafkan kamu seja lama Rizmy..”
“sekarang,
aku benar-benar merasakan jatuh cinta..”
“lalu?”
“merasa
didekatmu, aku begitu nyaman dan hangat sangat terasa. Namun saat aku jauh
darimu, aku merasa sakit. Sakit yang sangat menyesakkan di dada. Aku jatuh
cinta padamu Rasya..”
Jantungku semakin berdebar.
“jadi..?”
“apakah kau mau menjadi pemilik
hatiku sebagai obat untuk sakit yang aku derita?”
Tatapannya begitu memancarkan pengharapan. Aku juga
mencintaimu Rizmy, namun aku belum bisa menjawabnya, karena kau telah membuat
luka dalam hatiku, akutak dapat menerimanya secara cepat. Gumamku dalam hati.
“waduh,
sudah petang, sebentar lagi aku ada acara dengan temanku.. aku tak bisa
menjawabnya sekarang, maaf Rizmy.. kau mau kan menunggu 15 hari lagi untuk
mendengarkan jawaban dariku?”
Rizmy terdiam, dia menunduk. Seperti ada kekecewaan
dalam hatinya.
“oke, aku akan menunggu jawaban itu..”
ucapnya dengan suara kecewa.
Dengan terburu-buru, aku pamit untuk pergi
meninggalkannya di atas pasir ini. Dengan cepat aku mencari taxi yang lewat
untuk menuju restoran tempat aku dan Andhika janjian tadi siang.
“sudah lama menunggu? Maaf yah telat..”
“tidak, baru saja satu jam yang
lalu..” lalu ia tersenyum.
Aku tahu di dalam hati lelaki berkaca mata ini ada
rasa kekecewaan juga karena aku datang telat. Beberapa menu telah siap
terhidang di atas meja hadapanku ini. Saat aku hendak mengambil tisu, tanpa
sengaja tangannya tersentuh tanganku hingga tangan kami bertemu. Lalu ia
menggenggam tanganku, terasa berbeda seperti genggaman Rizmy. Bengitu hangat
dan halus.
“Rasya,
aku sering merasakan getaran tak menentu di setiap hari,apa mungkin ini arti
aku sedang menyukai seseorang?”
“mungkin
saja..” jawabku padanya
“jika
aku mengatakan bahwa aku menyukaimu,apakah kamu akan mempertimbangkannya?”
“apa
katamu?”
“Sepertinya
aku, Andhika, sudah jatuh cinta padamu. Jadi maukah kamu membuka hatimu dan
belajar untuk menyukaiku?”
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha untuk
meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah dengar.Namun genggaman tangan Andhika
yang sangat erat membuatku tahu bahwa semua ini adalah nyata . Degup jantungku
yang memacu begitu cepat saat ucapan Andhika kembali terngiang di benakku
membuat aku tahu bahwa aku juga tidak
sedang bermimpi. Aku juga menyukai Andhika. Tapi aku teirngat akan Rizmy yang
baru saja tadi telah menyatakan cintanya dan ia juga bersedia menunggu, Aku
juga mencintai Rizmy sejak lama, lima tahun lamanya. Jadi untuk tawaran Andhika
ini. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat,aku belum benar-benar siap.
“Terima
kasih karena telah mencintaiku Dhika,Tapi maaf...., aku tidak bisa menjawabnya
sekarang karena aku tidak tahu dengan jelas apa yang aku rasakan saat ini, kamu
mau kan nunggu 15 hari lagi?”
“tak
apa,Rasya. Aku siap menunggu sampai semuanya menjadi jelas.”.
***
Matahari telah bersinar dan
suara burung telah membangunkanku. Saat terbangun hal pertama yang aku ingat
adalah sebuah perjanjian 15 hari yang lalu, kini saatnya untuk mengatakan
jawaban hatiku pada seorang yang sangat dekat denganku dan seorang yang juga
telah lama menjadi harapanku. Hari ke-15 yang sesuai dengan perjanjianku
sudah tiba. Karena mendapat jadwal kuliah siang, aku sempatkan diri pagi ini pergi
ke rumah sakit tempat Rizmy bekerja. Ku tunggu dia di taman belakang rumah
sakit. Seperti biasa, dia mengejutkanku dengan menepukkan tangannya pada
bahuku. Senyuman yang dia pancarkan terkesan sangat pucat, kini aku khawatir,
apa ada sesuatu yang terjadi padanya? Ia pun tak membuang tatapannya dariku dan
langsung menempati kursi yang kosong disampingku.
“ini
buat makan siang..” aku berikan kota makan yang berisi
makanan favoritnya khusus untuk makan siangnya.
“iya,
terimakasih Ras, kapan kamu ke kampus?”
“jam
dua belas nanti..”
Lama terdiam, hening.
Sebuah daun dari pohon yang terletak dibelakang kursi besi ini jatuh tepat
diatas dress yang kupakai ini, berwarna pucat. Saat angin berhembus, daun itu
terbang menuju tangan lelaki yang ada disampingku. Sudah waktunya aku menjawab
pertanyaan itu darinya, dan aku tidak harus menunda-nunda lagi.
“Rasya?
Ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Rizmy menepuk bahuku, menyadarkanku dari lamunan.
“Aku......” mendadak
lidahku teraa kelu. Susah payah aku melanjutkan ucapanku.
“aku
sudah memutuskan....” lanjutku
“memutuskan?
Memutuskan apa?” Dia menatapku dengan bingung.
Aku beranjak berdiri
dan menghembuskan nafas, saat ku membuka mata, ia sudah berdiri pula
dihadapanku.
“
Aku tahu ini kedengarannya sangat mengecewakan,tapi.. aku.. sudah mencintai
Andhika.”
“aku..
karena aku sudah menyadari siapa yang sebenarnya aku cintai, aku memilih
Andhika” lanjutku.
“Omong
kosong apa ini Rasya?”
“ini
bukan omong kosong, aku.. sudah lama ingin memberitahumu. Aku hanya mencari
waktu yang tepat untuk mengatakannya.Hatiku masih terluka karenamu dulu”
“Aku
tidak percaya, Lalu apa artinya semua yang sudah kita lalui, Rasya? Dan kenapa
pria itu adalah Andhika?”
“Rizmy,
tolong terima kenyataan ini. Maafkan aku..aku benar-benar meminta maaf..”
“apa
aku masih boleh datang jika merindukanmu?” ucapnya.
“kelak..
kita jangan bertemu seperti ini lagi, Rizmy. Aku nggak mau Andhika salah paham
dengan hubungan kita..” ujarku lirih.
“Kamu
boleh saja pergi. Tapi aku memilih untuk tetap disini. Karena aku tahu,sejauh
apapun aku berlari, aku pasti akan kembali. Dan sebagaimana pun kamu berusaha
lari dariku, aku tidak akan pernah bisa mengingkari perasaanku padam, Rasya.”
Kata-katanya membuat aku tak kuasa menahan air mata.
“Rizmy..
Maaf.................”
Belum lama aku melanjutkan
pembicaraan, ia langsung saja menahan bibirku dengan menempelkan jari
telunjuknya di bibirku lalu tersenyum dengan wajah yang sangat pucat.
“aku
sekarang sudah tahu, terima kasih telah membuatku menunggu jawabanmu. Aku tahu
kau sudah tidak ada rasa lagi terhadapku. Maafkan aku yang dulu ya Ras. Mungkin
memang benar langit dan awan itu tidak pernah bisa saling menyentuh. Kau lebih
pantas bersama Andhika. Jagalah cintamu untuknya, berbahagialah untukku.Sudah
mau jam dua belas nih.kamu harus kuliah kan?cepat pergi jangan sampai
terlambat. ”
Pikiranku semakin
kacau, tangan yang memegang bahuku kini sudah lepas. Dia berjalan menjauh ke
arah belakangku. Aku masih diam terpaku tanpa membalikkan pandaganku. BRUKK!
Tiba-tiba suara sebuah benda terdengar jatuh sangat kencang tepat dibelakangku.
Saat aku berbalik badan, terlihat seorang lelaki yang mengenakan blazer putih
sedang tergeletak diatas rumput. Pikiranku bertambah semakin kacau. Aku
mendekatinya, memeluk tubuhnya yang dingin dengan wajah yang memucat,setetes
darah mengalir dari lubang hidungnya Diapun tersenyum dan mengatakan sesuatu
tanpa ada suara. Tanda cinta?.
Aku menggenggam
tangannya erat dan ikut berlari menuntun ranjang yang dibawa cepat oleh para
perawat menuju ruang UGD. Mataku tertuju ke arah jarum pada jam dinding sudah
menunjukkan pukul duabelas dan ini waktu untukku pergi ke kampus. Bisikan Rizmy
yang menyuruhku pergi tetap terngiang ditelingaku tiada henti.Dengan terpaksa
serta rasa gelisah yang terus menghantuiku,akupun bergegas dan berlari keluar
rumah sakit mencari kendaraan untuk sampai di Kampus.
Baru saja aku selesai
menyibukki bahan-bahan makalah, sebuah panggilan memanggilku sehingga ponsel
yang berada digenggamanku ini berdering. DEG! Kabar apa ini? Aku harap ini
adalalah mimpi buruk yang tidak akan pernah terjadi. Lalu panggilan itu
terputus.Baru saja ku dengar seseorang dengan tuturan kata yang santun di
seberang sana mengatakan bahwa Rizmy telah pergi? Aku sangat tidak percaya. Aku
pu bergegas pergi menuju rumah sakit
yang taadi pagi baru saja aku kunjungi. Aku bertanya-tanya kepada para dokter
dan perawat tentang dimana Rizmy sekarang, namun mereka hanya menundukan kepala
dan menggeleng. Lalu aku putuskan untuk pergi ke rumahnya saja.
Langit mulai menjingga.Ku
ketuk pintu rumah yang ada di hadapanku kini, ku lirik suasana disekitarnya
yang memberi kesan kedukaan, atau mungkin perasaanku saja? Tiba-tiba tante Fany
pun membuka pintu dan menyapaku lalu mengajakku masuk kedalam. Ia pun pergi
menuju dapur lalu membawakan segelas air kepadaku. Ku lihat sekeliling ruangan
ini, banyak tertempal foto-foto Rizmy di dinding. Sejenak aku bertanya pada
tante Fany mamanya Rizmy.
“oh
iya tan.. Rizmy nya belum pulang?”
Tante Fany pun terdiam
menatapku seolah terkejut setelah mendengar kata-kataku. Apa ada yang salah
dengan ucapanku barusan? Aku merasa malu telah membuat tante Fany terkejut.
“dia
sudah pergi...” jawaban tante Fany membuatku sungguh
kebingungan.
Pergi? Pergi kemana
dia? Pikiranku agak sedikit kacau.
“pergi
ke tempat yang sangat jauh..” lanjutnya sambil
membendung air mata.
Lalu tante Fany pun
beranjak berdiri dan mengajakku agar mengikutinya menuju kamar Rizmy. Di
tunjukkannya sebuah buku diary milik Rizmy kepadaku oleh tante Fany. Ku
perhatikan sekeliling kamar Rizmy, dan aku tertuju pada sebuah sudut yang
berhadapan dengan tempat tidurnya. Kulihat koleksi foto-foto yang ia pajang di
atas lembaran gabus yang menempel pada dinding kamarnya. Aku perhatikan
foto-foto itu satu per satu sampai aku menemukan sebuah foto perempuan dengan
tubuh ideal berambut coklat panjang berdiri tepat di sebelah patung sambil
bergaya yang ternyata itu adalah aku. Rizmy menyimpan fotoku? Bagaimana hatiku
tak gembira? Selama ini penantian ku selama enam tahun ternyata tak sia-sia. Ku
simpan buku diary Rizmy ke dalam ransel ku dan pamit pada tante Fany untuk
pulang.
Saat tengah santai di
dalam kamar memandangi langit yang kehilangan cahaya karena sang mentari sedang
bersembunyi, aku teringat akan buku diary Rizmy. Ku perhatikan dari sampulnya,
disini penuh makna perasaan sejuk namun ada pula kedukaan yang tersembunyi,
akupun segera membaca halaman demi halaman.
“Hari
terakhirku di kota ini setelah masa SMU,seorang gadis bertubuh bulat yang aku
benci mencoba menghalangi perjalananku. Apa ini? Dia memberiku sebuah gantungan
kunci? Maksudnya apa? Dan kenapa dia berjanji padaku akan membuatku tak
mengenalinya nanti? Aku bingung di buat gadis bodoh ini.
Diwaktu
sibuk, seseorang mengirim pesan padaku, ah ternyata gadis bodoh bertubuh bulat
itu lagi, aku bosan diganggu olehnya, terpaksa aku memberinya harapan kosong
agar ia tidak mengangguku lagi.”
Ketika membalik halaman, ternyata kosong dan bersih tanpa ada coretan sedikitpun. Aku agak sedikit kecewa membaca catatan ini. Tapi rasanya aku ingin melanjutkan membaca karena aku masih penasaran dengan maksud dari tante Fany memberiku diary milik Rizmy.
Ketika membalik halaman, ternyata kosong dan bersih tanpa ada coretan sedikitpun. Aku agak sedikit kecewa membaca catatan ini. Tapi rasanya aku ingin melanjutkan membaca karena aku masih penasaran dengan maksud dari tante Fany memberiku diary milik Rizmy.
“Senin
siang, Baru saja aku sampai di sebuah stasiun kereta api secara tidak sengaja
aku menabrak seorang gadis yang membawa tumpukan kertas dalam sebuah map
berwarna biru sampai kertas-kertas itu beterbangan. Entah mengapa jantungku
berdebar begitu kencang dan ini membuatku menjadi salah tingkah sehingga
membuatku berulang kali memohon maaf kepadanya. Akupun mengajaknya mengobrol di
sebuah cafe. Aku terkejut saat aku tahu bahwa gadis manis ini adalah Rasya si
gendut yang suka banget ganggu kehidupan aku saat SMA,lima tahun yang lalu. Ternyata kini Rasya sudah
berubah total sampai aku tidak mengenalinya.
Selasa,
sepulang kuliahnya, aku menjemput Rasya di stasiun kereta api lalu aku ajak dia
ke sebuah museum dan kami berfoto-foto,bercanda sampai tertawa terbahak-bahak
mendengar leluconku. Saat ini, aku merasakan kenyamanan dan kehangatan ada di
dekatnya, oh mungkin ini rasanya jatuh cinta?
Rabu,
aku bertemu dengan nya di sebuah perpustakaan besar. Aku dan rasya bermain mata
dan bercanda sampai-sampai kami di tegur penjaga perpustakaan. Lalu secara tak
sengaja Andhika si culun datang menjemput Rasya. Disini aku merasakan ada api
yang membara dalam hatiku dan membuatku ingin berteriak dan marah di depan
Andhika ini, namun aku tak bisa mengungkapkannya karena aku bukan siapa-siapa
Rasya. Oh mungkin aku merasakan cemburu?.
Kamis,
hari ini aku sibuk di Rumah sakit mengurusi pasien-pasien. Saat melakukan
praktek, dokter senior menyuruhku pulang karena terlihat pucat. Tapi aku
rasakan sebuah getaran di dalam hatiku. Rasanya tak ingin jauh dari sosok gadis
manis yang bernama Rasya itu, aku ingin di dekatnya sekarang. Apakah aku
merasakan kerinduan? Cukup sakit rasanya aku memendam sebuah cinta sendirian.
Pikiranku semakin banyak, aku tak kuasa menahan sakit dikepalaku saat di lobby.
Tiba-tiba setetes darah keluar dari lubang hidungku. Saat aku membuka mata, aku
berada di sebuah ruangan berbau obat. Seorang dokter senior berkata, aku tidak
boleh banyak pikiran lagi. Lantas? Apa yang harus aku lakukan jika sebenarnya
aku benar-benar mencintai Rasya?
Kamis,
aku menjalani pemeriksaan dan aku mendapat kabar dari dokter senior, kalau aku
divonis mempunyai penyakit kanker jaringan lunak stadium 3 dan hidupku hanya
tersisa 17 hari lagi. Dan aku pun dilarang memikirkan banyak hal. Sedangkan
rindu yang ku rasa ini begitu sangat melekat kuat dan tak tahan ingin bertemu
rasya.
Jumat,
karena tak ada jadwal, aku pun segera menjemput Rasya di gerbang kampus tempat
ia kuliah. Ku ajak dia menuju taman kota dan kami bersenang-senang disana dan
akhirnya rasa rindu ini benar-benar terobati karena kehadirannya. Aku tahu
hatinya, dia menungguku selama tujuh tahun, walaupun aku telah mencaki-makinya
sekian kali empat tahun yang lalu. Sekarang aku tersadar, aku menyesali
perbuatanku yang telah menyia-nyiakan dia. Aku suka dia, aku cinta dia, aku
sayang dia, sosok gadis yang manis ini.
Sabtu,sore
ini aku mengajaknya pergi ke pantai. Pasir putih menemani keceriaan kami. Angin
berhembus membawakan sebuah kesejukkan cinta yang sempat tertutup. Dan detik
ini aku sudah beranikan diri untuk menyatakan rasa sayangku pada Rasya dan
seakan aku ingin memeluknya saat ini. Namun, Rasya tidak menjawab sebuah kata
ang aku idamkan. Mengapa? Bukankah dia menantiku selama bertahun-tahun? Mengapa
dia masih membahas empat tahun yang lalu? Aku hanya punya sisa waktu 15 hari,
dan aku pun memberinya waktu sepanjang itu untuk memikirkan jawabannya.
Minggu,
aku merasakan sakit yang sangat dahsyat di kepalaku dan membuatku sulit berkata
apapun karena yang kurasa hanya sakit. Dan darah menetes lagi dari hidungku.
Mama mengkhawatirkanku sampai-sampai ia meneteskan air matanya. Aku merasa
sangat bersalah. Aku telah tersadar saat aku berada di ruangan berbau obat itu
lagi. Jarum infus sudah tertancap di urat nadiku, selang oksigen sudah
terpasang dan ini membuatku lemas tak berdaya. Rasanya aku ingin keluar dari
tempat ini dan berlari sekencang-kencangnya agar bisa bebas dari kenyataan ini.
Selasa,
aku kini terbaring lemah tak berdaya di sebuah ranjang dan aku tak bisa
menjemput Rasya lagi unuk mengajaknya jalan berdua bersamaku.
Jumat,
rasanya aku rindu berat dengan Rasya. Untuk Rasya, maaf dahulu aku telah
menyia-nyiakan kamu. Aku baru tersadar bahwa cinta itu memang seharusnya tak
memandang fisik. Dulu aku sangat membencimu karena aku sangat membenci
kegemukkan saat adikku meninggal yang disebabkan kegemukkan pula. Aku juga
tersadar, aku tak perlu mencari sampai ke ujung dunia orang yang bisa mencintai
setulus hatinya karena sekarang yang aku temukan adalah sesosok gadis yang
manis bernama Rasya yang setia menunggu serta mencintaiku selama enam tahun.
Maaf aku sering memberimu harapan kosong Ras.
Sabtu,
sisa waktuku tinggal 10 hari lagi dan ini bukanlah waktu yang sangat lama, aku
ingin secepatnya bertemu dengannya lalu memeluknya erat. Tapi yang bisa aku
lakukan saat ini hanya terbaring lemah diatas sebuah ranjang dalam ruangan
berbau obat yang menyengat. Aku sangat membenci hal ini. Aku benci diriku yang
lemah ini, harusnya aku masih bisa berdiri menunggu jawaban dari sang bidadari
yang datang di kehidupanku, Rasya.
Jumat,
saat aku membuka mata, aku di kejutkan oleh tetesan air mata mama. Dia bilang
padaku, aku baru saja mengalami koma selama lima hari. Dan kini waktuku tinggal
tersisa lima hari lagi. Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ini salahku
memberinya waktu tepat dengan hari terakhir aku berada disini. Aku
mencintainya, bahkan aku bisa menciantainya sampai ajal menjemputku meskipun
belum ia jawab pertanyaan dariku itu.
Jika
waktuku tak sempat untuk melihat Rasya yang terakhir kalinya, aku ingin
menyampaikan segala isi hatiku untuknya lewat buku ini.
Aku
mencintai Rasya, dia adalah satu-satunya gadis yang berharga dalam hidupku,
terima kasih telah menantiku sejauh ini dan aku tahu alasan mengapa dia ragu
manjawab pertanyaanku, maafkan aku untuk lima tahun yang lalu. Sungguh aku menyesali
semua ini, aku membencinya karena sesuatu yang pernah membuta perasaanku sakit.
Aku sangat berterima kasih padanya karena ia telah mencintaiku walaupun aku tak
membalas apapun kepadanya, dan aku sekarang mendapatkan hal yang sama seperti
yang dirasakan olehnya sewaktu dulu. Dan aku sangat berterimakasih padanya
karena ia telah hadir dalam kehidupanku dan menemani hari-hari terakhirku
melihatnya. Aku akan tetap selamanya mencintai Rasya, meskipun ku tahu ia tak
akan menjawab pertanyaanku dengan apa yang aku harapkan. Meskipun aku telah
tiada nanti, namun rasa ini tetap hidup abadi.”
Tetes demi tetes air
mataku berjatuhan membasahi buku diary yang ada di hadapanku. Aku baru
tersadar, ini adalah hari terakhir untuk Rizmy. Aku merasa sangat bersalah
karena menjawab pertanyaannya lima belas hari yang lalu itu dengan kebohongan
arti menolak.Sejujurnya aku mau menjadi pemilik hatinya, namun aku juga merasakan luka yang terus terpendam
yang telah dibuat olehnya lima tahun yang lalu. Langit malam ini terlihat
begitu berwarna dengan ribuan bintang yang menghiasi tiap sisinya. Hening dan
dingin, serasa hanya aku yang menghuni isi dunia yang luas ini.
Hanya sebuah ponsel yang mengisi sepi malamku bersama bintang yang
menerangi gelap malam. Kuputar lagu yang ada di ponselku, ku ikuti nyanyian sebuah lagu penggambar suasana isi hati saat
ini.Sepenggal syair ini cukup mewakili perasaanku saat ini, yaitu kehilangan
seseorang yang teramat aku cintai. Aku tak pernah berpikir ini semua adalah
keadaan singkat, aku tak pernah berpikir jika semua ini akan cepat berakhir,
aku tak pernah berpikir jika ini adalah hari terakhir Rizmy.
Tak ada pilihan lain, karena pujaan hatiku telah pergi. Hari sudah larut malam,
sulit rasanya aku menerima kanyataan ini. Aku tak henti memeluk erat buku diary
milik Rizmy itu.
Ku dengar dari luar sana seseorang memanggilku, saat aku membuka
jendela dengan masih memegang diary dan melihat ke arah bawah, benar saja,
seorang lelaki berkacamata telah memanggilku. Akupun pergi menelusuri tangga dan pergi ke halaman
belakang untuk bertemu dengan sosok itu, Andhika.
“harinya
sudah jatuh pada hari ini bukan? Dan..... apa itu?”
ucap nya sambil menunjuk ke arah diary yang ku genggam.
Aku baru tersadar, aku
lupa menyimpannya. Aku pun segera menyembunyikan diary ini ke belakangku. Namu
ia tetap merebutnya dan melihat halaman depan dn belakang saja.
“aku
akan menjawabnya sekarang...”
“ya,
aku mencintaimu juga, dan aku mau menjadi seseorang yang selalu ada dihatimu.” Lanjutku.
“apa
kau menerima ku karena terpaksa?”
“tidak,
semua ini tulus dari hati..”
“apakah
ini jawaban setelah kau mengetahui bahwa pujaan hatimu, Rizmy telah pergi?
Apakah aku hanya kau jadikan untuk penggantinya?”
“tidak,
itu salah.. benar aku tulus menjawab ini.. tanpa ada alasan lain selain aku
benar mencintaimu..”
“lalu
diary ini?apa ini arti kau benar-benar mencintaiku? Apa kau masih mencintai
orang yang sudah menyakitimu ini? Yang sudah tiada sejak tadi sore? Kau
menyakiti lagi perasaanmu sendiri ? hah? ” ucapnya dengan
bentakan lalu menunjukan diary itu
“kau
tak mengerti maksudku...”
Aku terdunduk, lalu
pelupuk mataku mulai basah oleh air mata. Seketika Andika menarikku kedalam
pelukkannya.
“Aku
minta maaf telah membentakmu tadi, aku hanya.. tadinya benar benar kecewa saat
kau memegang diary ini, Rasya.” Andhika mempererat
pelukannya.
“Sejujurnya
aku takut ,Dhika. Aku benar-benar ngga tahu harus bagaimana kalau kamu sampai
membenciku tadi..” kataku saat Andhika melepaskan
pelukannya.
“engga
Rasya. Itu ngga akan terjadi. Melihat air matamu jatuh saja aku sudah sangat
lemah.Percayalah bahwa aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Yang belum pasti
ku tahu, apa benar kamu juga mencintaiku?”
Aku menatapnya dalam
dalam. Aku tahu, ada namanya yang kini terukuir di hatiku. Akupun tersenyum
padanya. Dan aku mengangguk tanpa ragu. Lalu dia memelukku lagi, tak disangka
teman yang selama ini setia kepadaku bisa menjadi kekasihku. Sekarang aku
sadar, seberapa besar aku menyimpan cinta untuk Rizmy, aku tak akan pernah bisa
memilikinya. Dan sekarang aku tersadar bahwa kebahagiaan itu dapat datang
darimana saja tanpa mengenal waktu dan dari siapa datangnya.
Malam ini menjadi
kenangan pertamaku saat pertama kali cinta hadi dalam kehidupanku. Aku
merasakan bahagia disini bersama kekasihku, Andhika. Apakah Rizmy merasakan
kebahagiaan juga disana? Ah.. aku jadi teringat pecakapan tadi siang saat melihat
senyumannya yang pucat pasi. Bahkan aku memutarkan lagi rekaman ingatanku yang
terjadi lima tahun yang lalu. Luka ini tinggal sedikit, aku mencoba
menghilangkannya, dan aku tahu, yang dapat mengobatinya hanya Rizmy seorang.
Sang pembuat luka dihatiku selama lima tahun.
(by : Hanifa Khoirunnisaa)