Hope In Love : Pertemuan Kembali

by - 18.00.00


Suara klakson angin itu menjerit panjang. Aku pun turun dari gerbong kereta dan berjalan merangkul tas ranselku sambil sibuk merapihkan kertas-kertas yang ada dalam map di genggamanku yang hampir berjatuhan menuju pintu keluar. Tiba-tiba dari arah berlawanan, seorang lelaki menabrakku hingga kertas-kertas dalam map pun terbang menyebar. Berulang kali ia memiinta maaf padaku sambil memunguti dan menyusun kertas-kertas itu. Saat aku perhatikan lelaki ini, ku rasa aku pernah mengenalnya, tetapi aku lupa. Saat ku perhatikan jam tangan yang dipakai pada pergelangan tangan sebelah kiri, jam itu terlihat sama persis seperti seseorang yang dulu aku kenali dan sering melihatnya di sekolah.
“eh maaf.. maaf ya..” ucap lelaki ini yang sedari tadi tiada henti berkata maaf padaku sambil menyusun kertas-kertas.
“iya gapapa..” jawabku.

Saat kami berdiri, kami sempat bertatap mata sejenak dan tatapan lelaki ini membuat jantungku berdebar tak menentu. Pikirku, apa lelaki ini lupa padaku? Atau tak pernah mengenaliku? Lalu mengapa aku merasa begitu mengenalinya tetapi aku lupa siapa dia. Lelaki ini terus saja meminta maaf kepadaku sampai-sampai ia mengajakku untuk berbicara sejenak di sebuah cafe mini di stasiun kereta ini. Di sebuah bangku cafe mini dalam stasiun, aku duduk sambil memandang gerbong-gerbong kereta api yang melaju dengan lambat dibalik kaca cafe mini ini.
lalu tak lama lelaki itu datang membawa nampan berisi dua buah roti dan dua gelas susu coklat hangat. Lalu kami mulai percakapan dan bebagi pengalaman tanpa sebuah perkenalan. Ternyata dia baru selesai sarjana kedokteran dari salah satu universitas di Jawa Tengah dan dia disana tinggal bersama nenek kakeknya dan sekarang ia kembali ke kota ini untuk tinggal bersama orang tuanya kembali serta bertugas di sebuah rumah sakit di kota ini. Aku sempat ingat akan sesuatu saat lelaki ini menceritakan asal dan tujuan ia kemari. Setelah ku pikir, lelaki ini adalah kakak kelas yang dulu ku sukai sampai-sampai ia mencaci maki aku karena tubuhku yang sangat melebihi batas yaitu Rizmy?.
“kamu.. Rizmy?” ucapku mengalihkan pembicaraan.
“dari mana kamu tahu? Kamu siapa?” jawabnya melempar pertanyaan padaku.
“aku Rasya.. kamu ingat?”
“Rasya? Si gendut adik kelas yang sering gangguin aku itu?”
Sungguh aku tak mengira dan menyangka dari dulu sampai saat ini ia menyimpan rasa benci dan menganggapku sebagai pengganggu. Aku pun tertunduk dan rasanya aku ingin melampiaskan rasaku yang ku pendam tetapi aku tak mampu.

“iya, aku Rasya si gendut yang suka ganggu kamu. Kenapa?” ucapku dengan nada datar menyembunyikan rasa kesal.
“ha.. kok beda ya?” kata Rizmy sambil memerhatikan tubuhku.
“soal gendut ya? Please deh, aku sekarang bukan Rasya si gendut lagi!” jawabku yang langsung merangkul ransel ku lalu pergi meninggalkan cafe mini ini.
“eh Ras, tunggu.. besok, mau kan anterin aku ke museum?” ucap Rizmy sambil memegang tangan ku sehingga langkahku tertahan olehnya.
“oke.. sepulang aku kuliah ya..” jawabku yang langsung pergi meninggalkan Rizmy menuju pintu keluar.
Langit jingga sudah menyapa, seperti biasa aku menelusuri jalan sendiri dengan merangkul ransel sambil membawa tumpukan kertas dalam map. Pak satpam penjaga gerbang perumahaan itu biasa menyapaku tiap kali aku melewati pos dan aku membalasnya dengan senyuman. Sepanjang jalan aku memikirkan hal yang baru saja terjadi. Rizmy dia tak menyangka aku adalah Rasya, dan dia ternyata selama ini menganggapku pengganggu, tapi mengapa tiba-tiba dia kini datang di hadapanku bahkan sampai mengajakku agar menemaninya besok untuk mengunjungi museum di kota ini. Mungkinkah ada sesuatu yang ingin di sampaikannya? Pikirku, mungkin aku saja yang terlalu ke geeran tentang ini.
Pagi tiba, seperti biasa aku disambut oleh pagi yang cerah sambil menunggu Andhika di depan gerbang sekolah. Dia datang seperti biasa dengan style nya yang clasic dan terlihat seperti seorang kutubuku karena tak pernah lepas dari kacamatanya. Aku berkusik dalam hati.

“ada apa?” ucapnya dengan senyuman manis sambil membenarkan kacamatanya yang sedikit terlihat longgar.

Aku menggeleng. Apa? Dia mendengar aku? gumamku dalam hati. Saat menelusuri jalan koridor, aku terus memperhatikan wajahnya. Hingga tak aku sadari map dan isinya terjatuh dan beterbaran di atas lantai koridor. Dengan tulus dan perhatiannya, Andhika pun ikut turun dan memunguti kertas-ketas. Tanpa disengaja, tanganku bersentuhan dengan tangannya. Jantungku mulai berdegup tak menentu. Aku baru saja merasakan hadirnya orang yang selama ini membuatku nyaman dan bahagia meskipun aku tak menyadarinya. Ya, dia adalah lelaki berkacamata yang berhidung mancung dengan tampang culun yang selalu menemaniku kapan saja, Andhika. Dia selalu menjagaku tanpa lelah semenjak bertemu di masa SMU sampai saat ini dan aku kira lamanya sudah enam tahun. Tetapi rasa ini sungguh menyiksaku.
Aku terjebak dalam dua pilihan, aku sangat mencintai Rizmy, bahkan aku telah mempermalukan diriku hanya untuk dia empat tahun yang lalu. Sejak pertama aku kenal dia, tatapannya itu masih teringat jelas dalam memoriku, . Namun, disisi lain aku merasakan kenyamanan di dekat Andhika yang selalu menemaniku selama enam tahun. Dia sahabatku, tapi dia juga nafasku dan dia selalu menjagaku saat aku dalam keadaan suka dan duka. Aku telah dibuatnya tenang dan damai saat suasana apapun dan dimanapun, setiap aku merasa terjatuh, ia selalu memberiku semangat dan membuatku bangkit lagi. Mungkin aku terlalu egois terlalu memikirkan pilihan ini, tapi aku tak bisa selalu berpura-pura untuk tidak mencintai Andhika, apalagi berpura-pura tidak mencintai Rizmy, sungguh ini sangat sulit. Tapi disisi lain kalau emang aku dan Andhika jadian, aku takut, aku sangat takut kehilangan dia, aku tak mau dia hilang dari mata dan hatiku. Tapi di sisi lain juga aku ingin memiliki Rizmy, agar semua orang tau bahwa hanya akulah yang bisa mencintainya bahkan menantinya selama ini.

Aku selalu menahan rasa sakit ini ketika teman-temanku menanyakan kedekatan ku dengan Andhika selama ini, aku sakit ketika aku harus bilang “ bukan, dia hanya sahabatku.” Dan merekapun menjawab “jangan mau dengan dia, dia aneh.” Aku hanya membalas dengan senyuman. Tapi perlahan masalah itu sudah menjadi hal yang biasa untukku. Karna Andhika mengajarkanku untuk bertindak dan bersikap yang dewasa. Aku tak berani bilang Andhika adalah segalanya buat aku, karna aku takut segalanya aku hilang.
Aku berusaha menjadi wanita yang dewasa yang ingin selalu berfikiran positif, terkadang aku berpikir kalau hubungan aku dengan Andhika sekarang  aku takut jika kami pacaran lalu putus dan tak jauh lebih bahagia  bisa dekat lagi, lebih baik berteman seperti sekarang dan dia tak akan meninggalkan aku, kecuali dia mempunyai cintanya yang baru.
Andhika seseorang yang paling berharga buat aku sekarang, andaikan aku mampu berkata di depannya saat ini bahwa aku sayang dia dan tak mau kehilangan dia, mungkin aku akan jauh lebih tenang, tapi beberapa kali aku mencoba untuk mengatakannya malah yang ada hanya gemetaran yang ku rasa, mungkin belum saatnya aku berkata seperti itu.
Tawa dan candanya adalah warna di hidupku, aku tak ingin semuanya begitu cepat berlalu. Andhika juga adalah salah satu alasan yang membuatku nyaman di masa SMU yang dulu yang aku anggap biasa saja. Aku sekarang masih berdiri dihadapannya menjadi teman biasa, entah akankah posisi itu berubah? akupun tak tahu .
Sebuah lambaian kini ada dihadapanku. Siapa? Andhika? Ah pria itu memang selalu memberi perhatian padaku yang lebih. Kami pun melanjutkan perjalanan hingga kami terpisah di pertigaan koridor tepat diantara mading kampus melekat disana.
*****
“Rasya..”
Seorang lelaki menepuk bahuku saat aku tengah berdiri menanti kedatangan seseorang. Ya, Rizmy kini ada di sini, dia yang telah memanggilku dengan tepukan halus dari tangannya itu. Kami berjalan menelusuri tempat pejalan kaki menuju ke Museum yang tak jauh dari stasiun. Tak ku sadari, sedari tadi aku di potret olehnya secara diam-diam. Ketika suasana mulai terasa hambar, Ia mulai berbicara sesuatu tentang lelucon yang belum pernah aku dengar. Sampai-sampai perutku terasa sakit dibuatnya tertawa terbahak-bahak. Saat tubuhku mulai lelah untuk berjalan, aku pamit padanya untuk pulang terlebih dahulu meninggalkan dia di tempat ini.
 Hari berganti, sore ini aku mendapat ttukas makalah dari mata kuliah yang kurang cukup menyenangkan. Saat aku mencari buku-buku untuk bahan pembahasan, dengan tak sengaja tanganku menyentuh tangan seseorang.
“ma-af........”
Suasana menjadi  hening. Tangan itu dalah tangan sesosok pria yang kemarin mengajakku ke museum, Rizmy. Kali ini ia memakai kemeja biru, membuat ia lebih terkesan dengan jiwa yang ramah. Kini aku menyadarinya bahwa ia sekarang telah berubah. Ia pun melemparkan sebuah senyuman kepadaku. Aku membalasnya. Kami menjauh, saling melirik. Lalu saat aku duduk, ia pun duduk tepat di hadapanku. Kali ini ia bertanya-tanya mencuri perhatianku. Tak lama kami berbincang, seorang lelaki berkacamata datang menghampiriku dan mengatakan agar aku cepat menyelesaikan pencarian buku ini. Tatapan Rizmy terhadapnya begitu sinis, dan sebaliknya juga. Aku sangat tak mengerti mengapa mereka saling menatap sinis dengan tajam.
***
            Hembusan angin kencang, Harum pasir putih dan suara ombak ini membuat hatiku sangat damai. Matahari kini berada di perbatasan antara laut dan langit, Langit mulai berwarna jingga kemerahan. Karena waktu ini sangan terlihat indah,aku sempatkan untuk mengucapkan permohonan. Tiba-tiba tangan seseorang meraih tanganku dan menggenggam nya erat. Pandangan ku pun teralihkan ke arah seorang lelaki disampingku yang menggenggam tanganku erat. Seketika kemudian dia juga mengalihkan pandangannya ke arahku. Kami saling bertatap mata. Detak jantungku kini mulai terasa berdebar sangat kencang. Dia mendekatiku ke hadapanku tanpa melepaskan genggamannya.
“Rasya.. aku mohon maafkan aku yang dulu...”
“aku sudah memaafkan kamu seja lama Rizmy..”
“sekarang, aku benar-benar merasakan jatuh cinta..”
“lalu?”
“merasa didekatmu, aku begitu nyaman dan hangat sangat terasa. Namun saat aku jauh darimu, aku merasa sakit. Sakit yang sangat menyesakkan di dada. Aku jatuh cinta padamu Rasya..”
Jantungku semakin berdebar.
            “jadi..?”
            “apakah kau mau menjadi pemilik hatiku sebagai obat untuk sakit yang aku derita?”
Tatapannya begitu memancarkan pengharapan. Aku juga mencintaimu Rizmy, namun aku belum bisa menjawabnya, karena kau telah membuat luka dalam hatiku, akutak dapat menerimanya secara cepat. Gumamku dalam hati.
“waduh, sudah petang, sebentar lagi aku ada acara dengan temanku.. aku tak bisa menjawabnya sekarang, maaf Rizmy.. kau mau kan menunggu 15 hari lagi untuk mendengarkan jawaban dariku?”
Rizmy terdiam, dia menunduk. Seperti ada kekecewaan dalam hatinya.
            “oke, aku akan menunggu jawaban itu..” ucapnya dengan suara kecewa.
Dengan terburu-buru, aku pamit untuk pergi meninggalkannya di atas pasir ini. Dengan cepat aku mencari taxi yang lewat untuk menuju restoran tempat aku dan Andhika janjian tadi siang.
            “sudah lama menunggu? Maaf yah telat..”
            “tidak, baru saja satu jam yang lalu..” lalu ia tersenyum.
Aku tahu di dalam hati lelaki berkaca mata ini ada rasa kekecewaan juga karena aku datang telat. Beberapa menu telah siap terhidang di atas meja hadapanku ini. Saat aku hendak mengambil tisu, tanpa sengaja tangannya tersentuh tanganku hingga tangan kami bertemu. Lalu ia menggenggam tanganku, terasa berbeda seperti genggaman Rizmy. Bengitu hangat dan halus.
“Rasya, aku sering merasakan getaran tak menentu di setiap hari,apa mungkin ini arti aku sedang menyukai seseorang?”
“mungkin saja..” jawabku padanya
“jika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu,apakah kamu akan mempertimbangkannya?”
“apa katamu?”
“Sepertinya aku, Andhika, sudah jatuh cinta padamu. Jadi maukah kamu membuka hatimu dan belajar untuk menyukaiku?”
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah dengar.Namun genggaman tangan Andhika yang sangat erat membuatku tahu bahwa semua ini adalah nyata . Degup jantungku yang memacu begitu cepat saat ucapan Andhika kembali terngiang di benakku membuat aku tahu  bahwa aku juga tidak sedang bermimpi. Aku juga menyukai Andhika. Tapi aku teirngat akan Rizmy yang baru saja tadi telah menyatakan cintanya dan ia juga bersedia menunggu, Aku juga mencintai Rizmy sejak lama, lima tahun lamanya. Jadi untuk tawaran Andhika ini. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat,aku belum benar-benar siap.
“Terima kasih karena telah mencintaiku Dhika,Tapi maaf...., aku tidak bisa menjawabnya sekarang karena aku tidak tahu dengan jelas apa yang aku rasakan saat ini, kamu mau kan nunggu 15 hari lagi?”
“tak apa,Rasya. Aku siap menunggu sampai semuanya menjadi jelas.”.
***
Matahari telah bersinar dan suara burung telah membangunkanku. Saat terbangun hal pertama yang aku ingat adalah sebuah perjanjian 15 hari yang lalu, kini saatnya untuk mengatakan jawaban hatiku pada seorang yang sangat dekat denganku dan seorang yang juga telah lama menjadi harapanku.  Hari ke-15 yang sesuai dengan perjanjianku sudah tiba. Karena mendapat jadwal kuliah siang, aku sempatkan diri pagi ini pergi ke rumah sakit tempat Rizmy bekerja. Ku tunggu dia di taman belakang rumah sakit. Seperti biasa, dia mengejutkanku dengan menepukkan tangannya pada bahuku. Senyuman yang dia pancarkan terkesan sangat pucat, kini aku khawatir, apa ada sesuatu yang terjadi padanya? Ia pun tak membuang tatapannya dariku dan langsung menempati kursi yang kosong disampingku.
“ini buat makan siang..” aku berikan kota makan yang berisi makanan favoritnya khusus untuk makan siangnya.
“iya, terimakasih Ras, kapan kamu ke kampus?”
“jam dua belas nanti..”
Lama terdiam, hening. Sebuah daun dari pohon yang terletak dibelakang kursi besi ini jatuh tepat diatas dress yang kupakai ini, berwarna pucat. Saat angin berhembus, daun itu terbang menuju tangan lelaki yang ada disampingku. Sudah waktunya aku menjawab pertanyaan itu darinya, dan aku tidak harus menunda-nunda lagi.
“Rasya? Ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Rizmy menepuk bahuku, menyadarkanku dari lamunan.
 “Aku......” mendadak lidahku teraa kelu. Susah payah aku melanjutkan ucapanku.
“aku sudah memutuskan....” lanjutku
“memutuskan? Memutuskan apa?” Dia menatapku dengan bingung.
Aku beranjak berdiri dan menghembuskan nafas, saat ku membuka mata, ia sudah berdiri pula dihadapanku.
“ Aku tahu ini kedengarannya sangat mengecewakan,tapi.. aku.. sudah mencintai Andhika.”
“aku.. karena aku sudah menyadari siapa yang sebenarnya aku cintai, aku memilih Andhika” lanjutku.
“Omong kosong apa ini Rasya?”
“ini bukan omong kosong, aku.. sudah lama ingin memberitahumu. Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.Hatiku masih terluka karenamu dulu”
“Aku tidak percaya, Lalu apa artinya semua yang sudah kita lalui, Rasya? Dan kenapa pria itu adalah Andhika?”
“Rizmy, tolong terima kenyataan ini. Maafkan aku..aku benar-benar meminta maaf..”
“apa aku masih boleh datang jika merindukanmu?” ucapnya.
“kelak.. kita jangan bertemu seperti ini lagi, Rizmy. Aku nggak mau Andhika salah paham dengan hubungan kita..” ujarku lirih.
“Kamu boleh saja pergi. Tapi aku memilih untuk tetap disini. Karena aku tahu,sejauh apapun aku berlari, aku pasti akan kembali. Dan sebagaimana pun kamu berusaha lari dariku, aku tidak akan pernah bisa mengingkari perasaanku padam, Rasya.” Kata-katanya membuat aku tak kuasa menahan air mata.
“Rizmy.. Maaf.................”
Belum lama aku melanjutkan pembicaraan, ia langsung saja menahan bibirku dengan menempelkan jari telunjuknya di bibirku lalu tersenyum dengan wajah yang sangat pucat.
“aku sekarang sudah tahu, terima kasih telah membuatku menunggu jawabanmu. Aku tahu kau sudah tidak ada rasa lagi terhadapku. Maafkan aku yang dulu ya Ras. Mungkin memang benar langit dan awan itu tidak pernah bisa saling menyentuh. Kau lebih pantas bersama Andhika. Jagalah cintamu untuknya, berbahagialah untukku.Sudah mau jam dua belas nih.kamu harus kuliah kan?cepat pergi jangan sampai terlambat. ”
Pikiranku semakin kacau, tangan yang memegang bahuku kini sudah lepas. Dia berjalan menjauh ke arah belakangku. Aku masih diam terpaku tanpa membalikkan pandaganku. BRUKK! Tiba-tiba suara sebuah benda terdengar jatuh sangat kencang tepat dibelakangku. Saat aku berbalik badan, terlihat seorang lelaki yang mengenakan blazer putih sedang tergeletak diatas rumput. Pikiranku bertambah semakin kacau. Aku mendekatinya, memeluk tubuhnya yang dingin dengan wajah yang memucat,setetes darah mengalir dari lubang hidungnya Diapun tersenyum dan mengatakan sesuatu tanpa ada suara. Tanda cinta?.
Aku menggenggam tangannya erat dan ikut berlari menuntun ranjang yang dibawa cepat oleh para perawat menuju ruang UGD. Mataku tertuju ke arah jarum pada jam dinding sudah menunjukkan pukul duabelas dan ini waktu untukku pergi ke kampus. Bisikan Rizmy yang menyuruhku pergi tetap terngiang ditelingaku tiada henti.Dengan terpaksa serta rasa gelisah yang terus menghantuiku,akupun bergegas dan berlari keluar rumah sakit mencari kendaraan untuk sampai di Kampus.
Baru saja aku selesai menyibukki bahan-bahan makalah, sebuah panggilan memanggilku sehingga ponsel yang berada digenggamanku ini berdering. DEG! Kabar apa ini? Aku harap ini adalalah mimpi buruk yang tidak akan pernah terjadi. Lalu panggilan itu terputus.Baru saja ku dengar seseorang dengan tuturan kata yang santun di seberang sana mengatakan bahwa Rizmy telah pergi? Aku sangat tidak percaya. Aku pu  bergegas pergi menuju rumah sakit yang taadi pagi baru saja aku kunjungi. Aku bertanya-tanya kepada para dokter dan perawat tentang dimana Rizmy sekarang, namun mereka hanya menundukan kepala dan menggeleng. Lalu aku putuskan untuk pergi ke rumahnya saja.
Langit mulai menjingga.Ku ketuk pintu rumah yang ada di hadapanku kini, ku lirik suasana disekitarnya yang memberi kesan kedukaan, atau mungkin perasaanku saja? Tiba-tiba tante Fany pun membuka pintu dan menyapaku lalu mengajakku masuk kedalam. Ia pun pergi menuju dapur lalu membawakan segelas air kepadaku. Ku lihat sekeliling ruangan ini, banyak tertempal foto-foto Rizmy di dinding. Sejenak aku bertanya pada tante Fany mamanya Rizmy.
“oh iya tan.. Rizmy nya belum pulang?”
Tante Fany pun terdiam menatapku seolah terkejut setelah mendengar kata-kataku. Apa ada yang salah dengan ucapanku barusan? Aku merasa malu telah membuat tante Fany terkejut.
“dia sudah pergi...” jawaban tante Fany membuatku sungguh kebingungan.
Pergi? Pergi kemana dia? Pikiranku agak sedikit kacau.
“pergi ke tempat yang sangat jauh..” lanjutnya sambil membendung air mata.
Lalu tante Fany pun beranjak berdiri dan mengajakku agar mengikutinya menuju kamar Rizmy. Di tunjukkannya sebuah buku diary milik Rizmy kepadaku oleh tante Fany. Ku perhatikan sekeliling kamar Rizmy, dan aku tertuju pada sebuah sudut yang berhadapan dengan tempat tidurnya. Kulihat koleksi foto-foto yang ia pajang di atas lembaran gabus yang menempel pada dinding kamarnya. Aku perhatikan foto-foto itu satu per satu sampai aku menemukan sebuah foto perempuan dengan tubuh ideal berambut coklat panjang berdiri tepat di sebelah patung sambil bergaya yang ternyata itu adalah aku. Rizmy menyimpan fotoku? Bagaimana hatiku tak gembira? Selama ini penantian ku selama enam tahun ternyata tak sia-sia. Ku simpan buku diary Rizmy ke dalam ransel ku dan pamit pada tante Fany untuk pulang.
Saat tengah santai di dalam kamar memandangi langit yang kehilangan cahaya karena sang mentari sedang bersembunyi, aku teringat akan buku diary Rizmy. Ku perhatikan dari sampulnya, disini penuh makna perasaan sejuk namun ada pula kedukaan yang tersembunyi, akupun segera membaca halaman demi halaman.
“Hari terakhirku di kota ini setelah masa SMU,seorang gadis bertubuh bulat yang aku benci mencoba menghalangi perjalananku. Apa ini? Dia memberiku sebuah gantungan kunci? Maksudnya apa? Dan kenapa dia berjanji padaku akan membuatku tak mengenalinya nanti? Aku bingung di buat gadis bodoh ini.
Diwaktu sibuk, seseorang mengirim pesan padaku, ah ternyata gadis bodoh bertubuh bulat itu lagi, aku bosan diganggu olehnya, terpaksa aku memberinya harapan kosong agar ia tidak mengangguku lagi.”
Ketika membalik halaman, ternyata kosong dan bersih tanpa ada coretan sedikitpun. Aku agak sedikit kecewa membaca catatan ini. Tapi rasanya aku ingin melanjutkan membaca karena aku masih penasaran dengan maksud dari tante Fany memberiku diary milik Rizmy.
“Senin siang, Baru saja aku sampai di sebuah stasiun kereta api secara tidak sengaja aku menabrak seorang gadis yang membawa tumpukan kertas dalam sebuah map berwarna biru sampai kertas-kertas itu beterbangan. Entah mengapa jantungku berdebar begitu kencang dan ini membuatku menjadi salah tingkah sehingga membuatku berulang kali memohon maaf kepadanya. Akupun mengajaknya mengobrol di sebuah cafe. Aku terkejut saat aku tahu bahwa gadis manis ini adalah Rasya si gendut yang suka banget ganggu kehidupan aku saat SMA,lima  tahun yang lalu. Ternyata kini Rasya sudah berubah total sampai aku tidak mengenalinya.
Selasa, sepulang kuliahnya, aku menjemput Rasya di stasiun kereta api lalu aku ajak dia ke sebuah museum dan kami berfoto-foto,bercanda sampai tertawa terbahak-bahak mendengar leluconku. Saat ini, aku merasakan kenyamanan dan kehangatan ada di dekatnya, oh mungkin ini rasanya jatuh cinta?
Rabu, aku bertemu dengan nya di sebuah perpustakaan besar. Aku dan rasya bermain mata dan bercanda sampai-sampai kami di tegur penjaga perpustakaan. Lalu secara tak sengaja Andhika si culun datang menjemput Rasya. Disini aku merasakan ada api yang membara dalam hatiku dan membuatku ingin berteriak dan marah di depan Andhika ini, namun aku tak bisa mengungkapkannya karena aku bukan siapa-siapa Rasya. Oh mungkin aku merasakan cemburu?.
Kamis, hari ini aku sibuk di Rumah sakit mengurusi pasien-pasien. Saat melakukan praktek, dokter senior menyuruhku pulang karena terlihat pucat. Tapi aku rasakan sebuah getaran di dalam hatiku. Rasanya tak ingin jauh dari sosok gadis manis yang bernama Rasya itu, aku ingin di dekatnya sekarang. Apakah aku merasakan kerinduan? Cukup sakit rasanya aku memendam sebuah cinta sendirian. Pikiranku semakin banyak, aku tak kuasa menahan sakit dikepalaku saat di lobby. Tiba-tiba setetes darah keluar dari lubang hidungku. Saat aku membuka mata, aku berada di sebuah ruangan berbau obat. Seorang dokter senior berkata, aku tidak boleh banyak pikiran lagi. Lantas? Apa yang harus aku lakukan jika sebenarnya aku benar-benar mencintai Rasya?
Kamis, aku menjalani pemeriksaan dan aku mendapat kabar dari dokter senior, kalau aku divonis mempunyai penyakit kanker jaringan lunak stadium 3 dan hidupku hanya tersisa 17 hari lagi. Dan aku pun dilarang memikirkan banyak hal. Sedangkan rindu yang ku rasa ini begitu sangat melekat kuat dan tak tahan ingin bertemu rasya.
Jumat, karena tak ada jadwal, aku pun segera menjemput Rasya di gerbang kampus tempat ia kuliah. Ku ajak dia menuju taman kota dan kami bersenang-senang disana dan akhirnya rasa rindu ini benar-benar terobati karena kehadirannya. Aku tahu hatinya, dia menungguku selama tujuh tahun, walaupun aku telah mencaki-makinya sekian kali empat tahun yang lalu. Sekarang aku tersadar, aku menyesali perbuatanku yang telah menyia-nyiakan dia. Aku suka dia, aku cinta dia, aku sayang dia, sosok gadis yang manis ini.
Sabtu,sore ini aku mengajaknya pergi ke pantai. Pasir putih menemani keceriaan kami. Angin berhembus membawakan sebuah kesejukkan cinta yang sempat tertutup. Dan detik ini aku sudah beranikan diri untuk menyatakan rasa sayangku pada Rasya dan seakan aku ingin memeluknya saat ini. Namun, Rasya tidak menjawab sebuah kata ang aku idamkan. Mengapa? Bukankah dia menantiku selama bertahun-tahun? Mengapa dia masih membahas empat tahun yang lalu? Aku hanya punya sisa waktu 15 hari, dan aku pun memberinya waktu sepanjang itu untuk memikirkan jawabannya.
Minggu, aku merasakan sakit yang sangat dahsyat di kepalaku dan membuatku sulit berkata apapun karena yang kurasa hanya sakit. Dan darah menetes lagi dari hidungku. Mama mengkhawatirkanku sampai-sampai ia meneteskan air matanya. Aku merasa sangat bersalah. Aku telah tersadar saat aku berada di ruangan berbau obat itu lagi. Jarum infus sudah tertancap di urat nadiku, selang oksigen sudah terpasang dan ini membuatku lemas tak berdaya. Rasanya aku ingin keluar dari tempat ini dan berlari sekencang-kencangnya agar bisa bebas dari kenyataan ini.
Selasa, aku kini terbaring lemah tak berdaya di sebuah ranjang dan aku tak bisa menjemput Rasya lagi unuk mengajaknya jalan berdua bersamaku.
Jumat, rasanya aku rindu berat dengan Rasya. Untuk Rasya, maaf dahulu aku telah menyia-nyiakan kamu. Aku baru tersadar bahwa cinta itu memang seharusnya tak memandang fisik. Dulu aku sangat membencimu karena aku sangat membenci kegemukkan saat adikku meninggal yang disebabkan kegemukkan pula. Aku juga tersadar, aku tak perlu mencari sampai ke ujung dunia orang yang bisa mencintai setulus hatinya karena sekarang yang aku temukan adalah sesosok gadis yang manis bernama Rasya yang setia menunggu serta mencintaiku selama enam tahun. Maaf aku sering memberimu harapan kosong Ras.
Sabtu, sisa waktuku tinggal 10 hari lagi dan ini bukanlah waktu yang sangat lama, aku ingin secepatnya bertemu dengannya lalu memeluknya erat. Tapi yang bisa aku lakukan saat ini hanya terbaring lemah diatas sebuah ranjang dalam ruangan berbau obat yang menyengat. Aku sangat membenci hal ini. Aku benci diriku yang lemah ini, harusnya aku masih bisa berdiri menunggu jawaban dari sang bidadari yang datang di kehidupanku, Rasya.
Jumat, saat aku membuka mata, aku di kejutkan oleh tetesan air mata mama. Dia bilang padaku, aku baru saja mengalami koma selama lima hari. Dan kini waktuku tinggal tersisa lima hari lagi. Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ini salahku memberinya waktu tepat dengan hari terakhir aku berada disini. Aku mencintainya, bahkan aku bisa menciantainya sampai ajal menjemputku meskipun belum ia jawab pertanyaan dariku itu.
Jika waktuku tak sempat untuk melihat Rasya yang terakhir kalinya, aku ingin menyampaikan segala isi hatiku untuknya lewat buku ini.
Aku mencintai Rasya, dia adalah satu-satunya gadis yang berharga dalam hidupku, terima kasih telah menantiku sejauh ini dan aku tahu alasan mengapa dia ragu manjawab pertanyaanku, maafkan aku untuk lima tahun yang lalu. Sungguh aku menyesali semua ini, aku membencinya karena sesuatu yang pernah membuta perasaanku sakit. Aku sangat berterima kasih padanya karena ia telah mencintaiku walaupun aku tak membalas apapun kepadanya, dan aku sekarang mendapatkan hal yang sama seperti yang dirasakan olehnya sewaktu dulu. Dan aku sangat berterimakasih padanya karena ia telah hadir dalam kehidupanku dan menemani hari-hari terakhirku melihatnya. Aku akan tetap selamanya mencintai Rasya, meskipun ku tahu ia tak akan menjawab pertanyaanku dengan apa yang aku harapkan. Meskipun aku telah tiada nanti, namun rasa ini tetap hidup abadi.”
Tetes demi tetes air mataku berjatuhan membasahi buku diary yang ada di hadapanku. Aku baru tersadar, ini adalah hari terakhir untuk Rizmy. Aku merasa sangat bersalah karena menjawab pertanyaannya lima belas hari yang lalu itu dengan kebohongan arti menolak.Sejujurnya aku mau menjadi pemilik hatinya, namun aku juga merasakan luka yang terus terpendam yang telah dibuat olehnya lima tahun yang lalu. Langit malam ini terlihat begitu berwarna dengan ribuan bintang yang menghiasi tiap sisinya. Hening dan dingin, serasa hanya aku yang menghuni isi dunia yang luas ini.
Hanya sebuah ponsel yang mengisi sepi malamku bersama bintang yang menerangi gelap malam. Kuputar lagu yang ada di ponselku, ku ikuti nyanyian  sebuah lagu penggambar suasana isi hati saat ini.Sepenggal syair ini cukup mewakili perasaanku saat ini, yaitu kehilangan seseorang yang teramat aku cintai. Aku tak pernah berpikir ini semua adalah keadaan singkat, aku tak pernah berpikir jika semua ini akan cepat berakhir, aku tak pernah berpikir jika ini adalah hari terakhir Rizmy. Tak ada pilihan lain, karena pujaan hatiku telah pergi. Hari sudah larut malam, sulit rasanya aku menerima kanyataan ini. Aku tak henti memeluk erat buku diary milik Rizmy itu.
            Ku dengar dari luar sana seseorang memanggilku, saat aku membuka jendela dengan masih memegang diary dan melihat ke arah bawah, benar saja, seorang lelaki berkacamata telah memanggilku. Akupun  pergi menelusuri tangga dan pergi ke halaman belakang untuk bertemu dengan sosok itu, Andhika.
“harinya sudah jatuh pada hari ini bukan? Dan..... apa itu?” ucap nya sambil menunjuk ke arah diary yang ku genggam.
Aku baru tersadar, aku lupa menyimpannya. Aku pun segera menyembunyikan diary ini ke belakangku. Namu ia tetap merebutnya dan melihat halaman depan dn belakang saja.
“aku akan menjawabnya sekarang...”
“ya, aku mencintaimu juga, dan aku mau menjadi seseorang yang selalu ada dihatimu.” Lanjutku.
“apa kau menerima ku karena terpaksa?”
“tidak, semua ini tulus dari hati..”
“apakah ini jawaban setelah kau mengetahui bahwa pujaan hatimu, Rizmy telah pergi? Apakah aku hanya kau jadikan untuk penggantinya?”
“tidak, itu salah.. benar aku tulus menjawab ini.. tanpa ada alasan lain selain aku benar mencintaimu..”
“lalu diary ini?apa ini arti kau benar-benar mencintaiku? Apa kau masih mencintai orang yang sudah menyakitimu ini? Yang sudah tiada sejak tadi sore? Kau menyakiti lagi perasaanmu sendiri ? hah? ” ucapnya dengan bentakan lalu menunjukan diary itu
“kau tak mengerti maksudku...”
Aku terdunduk, lalu pelupuk mataku mulai basah oleh air mata. Seketika Andika menarikku kedalam pelukkannya.
“Aku minta maaf telah membentakmu tadi, aku hanya.. tadinya benar benar kecewa saat kau memegang diary ini, Rasya.” Andhika mempererat pelukannya.
“Sejujurnya aku takut ,Dhika. Aku benar-benar ngga tahu harus bagaimana kalau kamu sampai membenciku tadi..” kataku saat Andhika melepaskan pelukannya.
“engga Rasya. Itu ngga akan terjadi. Melihat air matamu jatuh saja aku sudah sangat lemah.Percayalah bahwa aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Yang belum pasti ku tahu, apa benar kamu juga mencintaiku?”
Aku menatapnya dalam dalam. Aku tahu, ada namanya yang kini terukuir di hatiku. Akupun tersenyum padanya. Dan aku mengangguk tanpa ragu. Lalu dia memelukku lagi, tak disangka teman yang selama ini setia kepadaku bisa menjadi kekasihku. Sekarang aku sadar, seberapa besar aku menyimpan cinta untuk Rizmy, aku tak akan pernah bisa memilikinya. Dan sekarang aku tersadar bahwa kebahagiaan itu dapat datang darimana saja tanpa mengenal waktu dan dari siapa datangnya.
Malam ini menjadi kenangan pertamaku saat pertama kali cinta hadi dalam kehidupanku. Aku merasakan bahagia disini bersama kekasihku, Andhika. Apakah Rizmy merasakan kebahagiaan juga disana? Ah.. aku jadi teringat pecakapan tadi siang saat melihat senyumannya yang pucat pasi. Bahkan aku memutarkan lagi rekaman ingatanku yang terjadi lima tahun yang lalu. Luka ini tinggal sedikit, aku mencoba menghilangkannya, dan aku tahu, yang dapat mengobatinya hanya Rizmy seorang. Sang pembuat luka dihatiku selama lima tahun.
(by : Hanifa Khoirunnisaa)

You May Also Like

0 komentar