Langit hitam ditaburi bintang yang berkbilau-kilau
kian ramai menyebar di lembaran langit. Tampak sebuah benda berukuran lebih
besar diantara kilauan-kilauan kecil, berbentuk lingkaran penuh dan juga
bercahaya. Di balik topeng hias, mataku menatap benda itu yang semua orang
sebut ‘Bulan’.
Seorang lelaki berkulit putih bersih berdiri di
sampingku. Ikut memperhatikan dengan seksama bulan terang dibalik topengnya.
Kulirik malu-malu dia yang ada di sebelahku, dibalut celana hitam panjang dan
jas. Pandangannya fokus pada lembaran langit yang meluas.
Aku terpaku entah berapa lama. Menyatukan
serpihan-serpihan yang berhamburan di liang hati. Dapatkah ini dikatakan
kebetulan? Ah… aku tak tahu harus berbuat apa. Lidahku beku. Benar-benar beku sosok
disampingku. Tanpa sadar aku menghela napas panjang, yang membuatku kembali ke
tempat kami pernah duduk disuatu hari setahun yang lalu…
***
Dia menolehkan kepalanya ke arahku. Jelas sekali aku
menangkap raut wajahnya yang lembut. Angin siang hari berhembus meniup
helai-helai rambut serta dedaunan yang ada di bawah pohon yang terhalang oleh
bangku taman. Rok abu-abu yang dipakai pun ikut serta melambai-lambai tertiup
angin.
“apa yang lo pikirin kalau ada angin?” tanya Riza
yang mengenakan seragam lengkap dengan kemeja putih dan celana abu-abunya. Kami
duduk di salah satu bangku taman yang ada di taman sekolah.
“Angin?” tanyaku, tidak mengerti maksud dari
pertanyaan yang ia sampaikan. Dia hanya mengangguk tanpa berkata apapun.
“Hmm, mungkin bisa membawa terbang, ya kalau dia
datang nggak berhenti behembus sih..” Jawabku sambil menghirup udara yang baru
saja dilewati angin.
Dia mengangguk lagi. Lalu, aku balikkan pertanyaan
itu padanya. Dia berkata, ia tidak dapat melihat angin tapi dapat merasakannya.
Terkadang angin itu bertiup kencang, membuat dirinya tak sadar diri bahkan
menahan rasa yang ada dalam hati, tapi dia dapat memahami itu. Dia berkata
lagi, angin juga dapat membawa apapun terbang dengan tujuan tak jelas. Aku
mengkerutkan dahi, tak mengerti apa yang ia bicarakan.
“Bayang-bayang maksud gue, pipi gelembung…” jelas Riza
menepak keningku lalu menarik kedua pipi ku.
Kami tidak pernah terikat dalam suatu hubungan
seperti hal yang sering dilalukan oleh remaja pada biasanya, berpacaran. Tidak.
Mungkin saja dia tidak menginginkanku. Entah aku yang tak pernah bisa
membuatnya tertarik, atau karena diriku sama seperti gadis yang sedang
diincarnya. Gadis yang seumuran denganku, yang duduk di bangku kelas dua
sekolah menengah atas. Tiap hari yang aku dan dia untai bersama tesirat nyata
dalam hatiku. Sahabat ku bilang, dia melihat seperti ada hubungan diantara aku
dan Riza saat kami selalu berdua seolah tak ada jarak yang memisahkan.
Apakah Riza sadar itu? Karena itu juga yang kurasakan.
***
Mataku tiada henti menyusuri tiap buku-buku yang aku
cari. Sampai akhirnya aku merasa sangat tenang saat melihat buku yang aku cari
sudah berada di depan mata. Ku ulurkan tanganku cepat untuk mengambil buku itu,
namun seseorang menarik buku itu dari hadapanku hingga membuat diriku ini
tersentak kaget dan sedikit kecewa.
“Hei pipi gelembung! Tumbenan masuk perpus?”
Seperti biasa, Riza datang dan memanggilku begitu.
Meskipun tubuhku tinggi dan kecil, tapi ada satu hal yang paling menonjol
adalah seperti yang sering ia katakan, pipi.
“Emang biasanya aku masuk kemana?”
“Biasanya lo kan ke kantin…”
Aku terkekeh, lalu mengajaknya duduk bersama di
salah satu bangku. Kami berhadapan. Tak ada perbincangan sepanjang waktu ini.
Kembali kebisuan memeluk kami berdua arena sibuk membaca. Aku tak tahu mengapa
sesuatu yang pernah memenuhi kepala dan begitu layak untuk di bicarakan,
mendadak lenyap bagai dirampas pencuri. Jantungku beredegup. Akhirnya, aku
menemukan cara untuk tidak begitu merasakan gemuruh di dalam dada, dengan
membuang pandangan ke luar jendela perpustakaan. Memperhatikan dedaunan yang
terbang tertiup angin. Benar apa yang dikatakan Riza kala itu, angin tak dapat
dilihat. Sudah hampir sepuluh menit, tetapi belum ada sepatah kata pun yang
terucap dari kami berdua.
Aku menolehkan kepalaku menatapi dia. Tanpa aku
sadari, dia juga tengah menatapku. Akhirnya entah berapa detik, pandangan kami
saling beradu. Aku terpaku menatap matanya. Wajah tampannya menghangat.
Dia melambaikan tangannya dihadapanku. Tiba-tiba aku
tersentak. Senyum jelas tampak di wajahnya.
“Intan, gue punya kabar baik nih? Mau denger nggak
lo?”
“Kabar baik?” Aku menatapnya heran. Dahiku berkerut.
Mata hitamnya menatapku dalam, ketika dia mengatakan
kalimat itu.
“Gue dapetin cewek! Akhirnya gue bisa juga kan buktiin
itu!” Riza tersenyum puas.
“Wah, hebat banget Za!” kataku, sempat tersentak menahan
kegetiran.
“Kok lo nggak ngucapin sih?”
“Kamu kan belum nunjukkin siapa cewek itu, ya nanti
aja kalau ketemu…” aku menghela napas panjang.Aku mencoba untuk bersikap tenang.
Lantas, aku cepat-cepat merapihkan buku yang aku baca lalu pergi ke tempat
dimana aku merasa tenang. Kursi taman tepat di bawah pohon yang ada di taman
sekolah.
“sendirian aja nih?” suara sahabatku, Ike
mengkagetkanku yang tengah larut dalam lamunan. Aku hanya mengangguk.
“Aku denger, Riza udah punya pacar lho..” Suara itu
begitu mengusik.
“Aku udah tau. Oh iya, sama siapa sih?” jawabku.
Ike menjawabnya dengan mantap lalu duduk di
sampingku. “Mieke”
“Wah bagus kalo gitu! Mereka cocok banget ya..”
“Kamu nggak nangis, Tan?”
“apa yang harus di tangisin? Nggak ada kali…”
“Kalo mau nangis nggak usah gengsi kali Tan.. nangis
aja..”
Karena itulah, kekuatanku untuk berbicara bagai di
rampas tangan kukuh kenyataan. Kenyataan seperti kopi tanpa gula. Getir. Dan perih.
Sekuat tenaga , aku berusaha menata hati yang kacau-balau. Tanpa aku sadari
sebelumnya, ternyata mataku menumpahkan bulir-bulir bening. Aku sadar kenyataan
ini tak sepantasnya mendapat penjelasan lagi. Kepalaku jatuh di bahu Ike. Semuanya
sudah jelas. Kenyataan itu kini sudah jelas. Melihatnya hanya akan membuat
berkas-berkas luka mengaga. Ini pahit. Aku akan menghilang dari hadapannya.
***
Aku masih berdiri tepatnya dibawah langit hitam di
acara prom night pelepasan siswa-siswi angkatanku yang diadakan
di sekolah. Masih dalam keadaan diam, berdiri mematung dan lelaki yang
mengenakan topengnya masih juga berdiri di sampingku. Tak berapa lama kemudian,
seorang gadis sebaya dengan kami datang menghampiri. Tepatnya menghampiri Riza.
Kedua sejoli itu tidak menyadari diriku yang berdiri menatap langit. Riza pun
menggandeng kekasihnya mesra, Mieke.
“Kamu kok disini, sayang? Nggak kedinginan?” Tanya
gadis itu.
Bagaimana bisa aku ada di sini? Tegak berdiri,
menatap Riza memeluk kekasihnya yang canti dengan topeng hias yang indah? Dia
telah berhubungan sekarang, tapi bukan denganku.
“Aku lagi nunggu teman, dia udah bilang mau ngasih
ucapan kalau aku udah ngenalin kamu ke dia…” Jawab Riza. Suaranya terdengar
jelas.
Aku membatu. Sanggupkah aku menunjukkan diriku
kembali di hadapannya? Mungkinkah dia masih mengenaliku, sebagai sosok pipi
gelembung yang ingin terbang terbawa angin?. Tidak, aku tidak berani bertemu
dengan dia lagi.
Kesadaranku habis, aku masih mencintainya. Dan tak
sempat ku katakan saat itu. aku mencintai Riza sejak pertama kali mengenal
sosoknya.
Ku balikkan tubuhku dan mengangkat sedikit gaun yang
aku kenakan lalu berjalan menuju bangku taman di bawah pohon meninggalkan tanpa
menghiraukan sepasang kekasih yang tengah menunggu kedatangan seseorang, yaitu
aku.
Dari kejauhan, aku menemukan siluet Ike yang tengah
duduk di bangku taman. Aku tersenyum padanya. Aku yakin dia pasti tahu apa
maksudku datang ketempat ini lagi.
“memutar kenangan?” tebaknya sambil terkekeh. Dia
benar.
Sesaat kemudian, angin menyambutku. Lagi-lagi gaun
yang ku kenakan tertiup angin. Sejuk. Dia benar, sekarang aku tak dapat melihat
angin, hanya dapat merasakan. Benar juga, terkadang angin itu tertiup kencang
sehingga membuatku tak sadar diri dan menahan rasa yang ada dalam hati. Adakah
angin tanpa udara? adakah cinta tanpa hati? Terkadang aku sulit memikirkan
semua ini. Namun akhirnya aku tahu, yang terbaik adalah merasakannya di dalam
hati, meskipun tak terucapkan. Dan aku dapat memahami, bahwa cinta itu seperti
angin. Dan apakah Riza tahu? Bahwa angin yang bersamaku kini masih mengenang
lelaki itu, Riza.
***