Angin Dan Kenangan

by - 16.00.00



Langit hitam ditaburi bintang yang berkbilau-kilau kian ramai menyebar di lembaran langit. Tampak sebuah benda berukuran lebih besar diantara kilauan-kilauan kecil, berbentuk lingkaran penuh dan juga bercahaya. Di balik topeng hias, mataku menatap benda itu yang semua orang sebut ‘Bulan’.
Seorang lelaki berkulit putih bersih berdiri di sampingku. Ikut memperhatikan dengan seksama bulan terang dibalik topengnya. Kulirik malu-malu dia yang ada di sebelahku, dibalut celana hitam panjang dan jas. Pandangannya fokus pada lembaran langit yang meluas.
Aku terpaku entah berapa lama. Menyatukan serpihan-serpihan yang berhamburan di liang hati. Dapatkah ini dikatakan kebetulan? Ah… aku tak tahu harus berbuat apa. Lidahku beku. Benar-benar beku sosok disampingku. Tanpa sadar aku menghela napas panjang, yang membuatku kembali ke tempat kami pernah duduk disuatu hari setahun yang lalu…
***
Dia menolehkan kepalanya ke arahku. Jelas sekali aku menangkap raut wajahnya yang lembut. Angin siang hari berhembus meniup helai-helai rambut serta dedaunan yang ada di bawah pohon yang terhalang oleh bangku taman. Rok abu-abu yang dipakai pun ikut serta melambai-lambai tertiup angin.
“apa yang lo pikirin kalau ada angin?” tanya Riza yang mengenakan seragam lengkap dengan kemeja putih dan celana abu-abunya. Kami duduk di salah satu bangku taman yang ada di taman sekolah.
“Angin?” tanyaku, tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang ia sampaikan. Dia hanya mengangguk tanpa berkata apapun.
“Hmm, mungkin bisa membawa terbang, ya kalau dia datang nggak berhenti behembus sih..” Jawabku sambil menghirup udara yang baru saja dilewati angin.
Dia mengangguk lagi. Lalu, aku balikkan pertanyaan itu padanya. Dia berkata, ia tidak dapat melihat angin tapi dapat merasakannya. Terkadang angin itu bertiup kencang, membuat dirinya tak sadar diri bahkan menahan rasa yang ada dalam hati, tapi dia dapat memahami itu. Dia berkata lagi, angin juga dapat membawa apapun terbang dengan tujuan tak jelas. Aku mengkerutkan dahi, tak mengerti apa yang ia bicarakan.
“Bayang-bayang maksud gue, pipi gelembung…” jelas Riza menepak keningku lalu menarik kedua pipi ku.
Kami tidak pernah terikat dalam suatu hubungan seperti hal yang sering dilalukan oleh remaja pada biasanya, berpacaran. Tidak. Mungkin saja dia tidak menginginkanku. Entah aku yang tak pernah bisa membuatnya tertarik, atau karena diriku sama seperti gadis yang sedang diincarnya. Gadis yang seumuran denganku, yang duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Tiap hari yang aku dan dia untai bersama tesirat nyata dalam hatiku. Sahabat ku bilang, dia melihat seperti ada hubungan diantara aku dan Riza saat kami selalu berdua seolah tak ada jarak yang memisahkan.
Apakah Riza sadar itu? Karena itu juga yang kurasakan.
***
Mataku tiada henti menyusuri tiap buku-buku yang aku cari. Sampai akhirnya aku merasa sangat tenang saat melihat buku yang aku cari sudah berada di depan mata. Ku ulurkan tanganku cepat untuk mengambil buku itu, namun seseorang menarik buku itu dari hadapanku hingga membuat diriku ini tersentak kaget dan sedikit kecewa.
“Hei pipi gelembung! Tumbenan masuk perpus?”
Seperti biasa, Riza datang dan memanggilku begitu. Meskipun tubuhku tinggi dan kecil, tapi ada satu hal yang paling menonjol adalah seperti yang sering ia katakan, pipi.
“Emang biasanya aku masuk kemana?”
“Biasanya lo kan ke kantin…”
Aku terkekeh, lalu mengajaknya duduk bersama di salah satu bangku. Kami berhadapan. Tak ada perbincangan sepanjang waktu ini. Kembali kebisuan memeluk kami berdua arena sibuk membaca. Aku tak tahu mengapa sesuatu yang pernah memenuhi kepala dan begitu layak untuk di bicarakan, mendadak lenyap bagai dirampas pencuri. Jantungku beredegup. Akhirnya, aku menemukan cara untuk tidak begitu merasakan gemuruh di dalam dada, dengan membuang pandangan ke luar jendela perpustakaan. Memperhatikan dedaunan yang terbang tertiup angin. Benar apa yang dikatakan Riza kala itu, angin tak dapat dilihat. Sudah hampir sepuluh menit, tetapi belum ada sepatah kata pun yang terucap dari kami berdua.
Aku menolehkan kepalaku menatapi dia. Tanpa aku sadari, dia juga tengah menatapku. Akhirnya entah berapa detik, pandangan kami saling beradu. Aku terpaku menatap matanya. Wajah tampannya menghangat.
Dia melambaikan tangannya dihadapanku. Tiba-tiba aku tersentak. Senyum jelas tampak di wajahnya.
“Intan, gue punya kabar baik nih? Mau denger nggak lo?”
“Kabar baik?” Aku menatapnya heran. Dahiku berkerut.
Mata hitamnya menatapku dalam, ketika dia mengatakan kalimat itu.
“Gue dapetin cewek! Akhirnya gue bisa juga kan buktiin itu!” Riza tersenyum puas.
“Wah, hebat banget Za!” kataku, sempat tersentak menahan kegetiran.
“Kok lo nggak ngucapin sih?”
“Kamu kan belum nunjukkin siapa cewek itu, ya nanti aja kalau ketemu…” aku menghela napas panjang.Aku mencoba untuk bersikap tenang. Lantas, aku cepat-cepat merapihkan buku yang aku baca lalu pergi ke tempat dimana aku merasa tenang. Kursi taman tepat di bawah pohon yang ada di taman sekolah.
“sendirian aja nih?” suara sahabatku, Ike mengkagetkanku yang tengah larut dalam lamunan. Aku hanya mengangguk.
“Aku denger, Riza udah punya pacar lho..” Suara itu begitu mengusik.
“Aku udah tau. Oh iya, sama siapa sih?” jawabku.
Ike menjawabnya dengan mantap lalu duduk di sampingku. “Mieke”
“Wah bagus kalo gitu! Mereka cocok banget ya..”
“Kamu nggak nangis, Tan?”
“apa yang harus di tangisin? Nggak ada kali…”
“Kalo mau nangis nggak usah gengsi kali Tan.. nangis aja..”
Karena itulah, kekuatanku untuk berbicara bagai di rampas tangan kukuh kenyataan. Kenyataan seperti kopi tanpa gula. Getir. Dan perih. Sekuat tenaga , aku berusaha menata hati yang kacau-balau. Tanpa aku sadari sebelumnya, ternyata mataku menumpahkan bulir-bulir bening. Aku sadar kenyataan ini tak sepantasnya mendapat penjelasan lagi. Kepalaku jatuh di bahu Ike. Semuanya sudah jelas. Kenyataan itu kini sudah jelas. Melihatnya hanya akan membuat berkas-berkas luka mengaga. Ini pahit. Aku akan menghilang dari hadapannya.
***
Aku masih berdiri tepatnya dibawah langit hitam di acara prom night  pelepasan siswa-siswi angkatanku yang diadakan di sekolah. Masih dalam keadaan diam, berdiri mematung dan lelaki yang mengenakan topengnya masih juga berdiri di sampingku. Tak berapa lama kemudian, seorang gadis sebaya dengan kami datang menghampiri. Tepatnya menghampiri Riza. Kedua sejoli itu tidak menyadari diriku yang berdiri menatap langit. Riza pun menggandeng kekasihnya mesra, Mieke.
“Kamu kok disini, sayang? Nggak kedinginan?” Tanya gadis itu.
Bagaimana bisa aku ada di sini? Tegak berdiri, menatap Riza memeluk kekasihnya yang canti dengan topeng hias yang indah? Dia telah berhubungan sekarang, tapi bukan denganku.
“Aku lagi nunggu teman, dia udah bilang mau ngasih ucapan kalau aku udah ngenalin kamu ke dia…” Jawab Riza. Suaranya terdengar jelas.
Aku membatu. Sanggupkah aku menunjukkan diriku kembali di hadapannya? Mungkinkah dia masih mengenaliku, sebagai sosok pipi gelembung yang ingin terbang terbawa angin?. Tidak, aku tidak berani bertemu dengan dia lagi.
Kesadaranku habis, aku masih mencintainya. Dan tak sempat ku katakan saat itu. aku mencintai Riza sejak pertama kali mengenal sosoknya.
Ku balikkan tubuhku dan mengangkat sedikit gaun yang aku kenakan lalu berjalan menuju bangku taman di bawah pohon meninggalkan tanpa menghiraukan sepasang kekasih yang tengah menunggu kedatangan seseorang, yaitu aku.
Dari kejauhan, aku menemukan siluet Ike yang tengah duduk di bangku taman. Aku tersenyum padanya. Aku yakin dia pasti tahu apa maksudku datang ketempat ini lagi.
“memutar kenangan?” tebaknya sambil terkekeh. Dia benar.
Sesaat kemudian, angin menyambutku. Lagi-lagi gaun yang ku kenakan tertiup angin. Sejuk. Dia benar, sekarang aku tak dapat melihat angin, hanya dapat merasakan. Benar juga, terkadang angin itu tertiup kencang sehingga membuatku tak sadar diri dan menahan rasa yang ada dalam hati. Adakah angin tanpa udara? adakah cinta tanpa hati? Terkadang aku sulit memikirkan semua ini. Namun akhirnya aku tahu, yang terbaik adalah merasakannya di dalam hati, meskipun tak terucapkan. Dan aku dapat memahami, bahwa cinta itu seperti angin. Dan apakah Riza tahu? Bahwa angin yang bersamaku kini masih mengenang lelaki itu, Riza.
***

You May Also Like

0 komentar