Diam, Buka Berarti Pecundang

by - 15.50.00


 ini cerpen yang di adaptasi dari kisah yang di postingan "Feeling Stored" :)
selamat membaca.....

Aku pernah mengalami bagaimana diriku berada di posisi orang-orang yang pernah mengalami kejadian buruk. Aku mengalami kesulitan dan saat ingin menangis dan berteriak di hadapan semua orang untuk mengungkapkan segala kesedihan, aku hanya bisa berkata “aku nggak apa-apa” seolah-olah diriku dalam keadaan baik-baik saja. Pengalaman ini terjadi tepatnya saat duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, aku selalu diam, tidak bereaksi dan benar-benar dianggap menjadi seorang pecundang.
***
            Baru beberapa minggu yang lalu, aku dan geng-nya Nadine berbaikan kembali setelah kasus pertengkaran kami yang berawal dari social media yang membuat diriku dan mereka tidak saling bertegur-sapa di sekolah. Hari ini ada pelajaran olah raga.Aku dan mreka bermain layaknya teman seperti biasa. Tak ada pandangan saling dendam lagi. Bermain basket pun dengan perasaan riang dan bersaing secara sehat. Saat permainan selesai, guru olah raga yang membimbing kami memperbolehkan kami untuk bermain bola basket, lalu guru itu pergi meninggalkan kami. Semua murid kelasku lelah dan kembali menuju kelas kecuali aku dan Nadine serta Tania yang masih ingin bermain. Kami mendapatkan dua buah bola basket. Ku pantulkan dan ku bawa bola itu melalui lapangan menuju ring basket yang ada di ujung lapangan untuk memasukan bola.Berkali-kali ku coba masukkan bola itu kedalam ring, namun tak berhasil. Terdengar tawaan dari Tania saat aku mencoba masukkan kembali tapi gagal. Ya, aku tahu dia pintar sekali dalam bermain basket , pantas saja dia menertawakan diriku. Saat ku coba memasukan kembali, aku memasukkan bola itu kedalam ring basket. Dan suara tawaan itu berhenti menjadi diam. Saat ku ulangi lagi dan berhasil. Untuk ketiga kalinya aku memasukkan bola kedalam ring dan berhasil lagi, aku terjatuh tak sengaja menabrak seseorang yang ada di belakangku hingga membuatku terjatuh dan menimpanya. Saat aku bangun berdiri dan berbalik mencari tahu siapa yang aku tabrak tadi, Tania sudah dalam posisi menduduki aspal lapangan. Ternyata yang aku tak sengaja tabrak tadi adalah Tania. Dia merintih kesakitan sambil terus memegangi pergelangan kaki kanannya. Ia terkilir, pasti rasanya sakit.
            “Astaga, Tania… ma… maaf… aku nggak sengaja, beneran deh, maaf banget…” Pintaku sambil berjongkok di hadapan Tania. Lantas ku pagang terus tangannya.
            “iya, ngga apa-apa vie, Cuma sakit sedikit doing kok…” Jawabnya seperti orang yang sedang berbohong menutupi perasaan yang sebenarnya. Padahal jelas sekali terlihat raut wajahnya mencerminkan rasa kesakitan. Sedangkan Nadine menatapku dengan wajah yang menyeramkan seperti terpampang jelas amarah dan dendam terlukis. Karena peristiwa ini, permainan basket kami selesai. Aku dan Nadine merangkul dan membawa Tania menuju kelas agar dia bisa merasakan kenyamanan dan mengurangi rasa sakit di kakinya. Setelah merasa santai did lm kelas, Nadine terus menatapku dengan tatapan amarah, seolah-olah ia tidak terima bahwa sahabatnya itu kesakitan karena kesalahanku. Padahal, tadi saat bermain aku benar-benar tak sengaja.
            “Dine, maaf kalo kamu marah sama aku…” Aku balas pandangannya dengan wajah memohon. Dia tetap diam.
            “Makannya jadi orang jangan sok! Belagu amat sih main basket!” tiba-tiba kata-kata keluar dari mulutnya.
            Hatiku tersentak, tiba-tiba Nadine berkata seperti itu dihadapanku dengan nada suara tinggi. Hal ini membuat nyaliku menciut.
            Setelah jam pelajaran selesai dan bel pulang berbunyi, aku pergi menuju tempat dimana anggota-anggota ekskul PMR berkumpul. Karena aku salah satu anggotanya, tak lengkap jika aku tak hadir. Setengah jam aku dan keluarga PMR berada di lapangan untuk  latihan lomba. Bu Indri, Pembina ekskul PMR memanggil diriku dan sahabatku, Mariska.
            “Revie, ibu minta tolong belikan kue bolu Surabaya di belokan jalan dekat sekolah, bisa?” pinta Bu Indri sambil membuka isi dompetnya.
            “Oh tentu bu, mau beli berapa?”
            “satu aja ya, pokoknya nggak pake lama…” Jawab Bu Indri dengan nada bercanda dan memberiku selembar uang kertas berwarna biru. Lima puluh ribu rupiah.
            Aku dan Meriska pun pergi menuju parkiran sepeda untuk mengambil sepedaku yang tersimpan disana. Saat aku menghampiri sepeda, ada sebuah kotak dus merah. Saat ku buka, isinya adalah sebuah kertas yang ditimpa sebuah boneka Barbie yang terpotong-potong serta penuh dengan corat coret pewarna merah, entah itu pewarna cair atau lipstick. Dengan perasaan heran, ku buka sebuah kertas dan ku lihat tulisan berwarna merah sama seperti pewarna yang terdapat pada tubuh boneka Barbie.
Hidupmu sedang terancam !!!!
Aku tertegun, apakah mungkin ini hanya sekedar orang jahil saja? Atau serius? Au tak tahu jelas. Meriska, yang telah lama menungguku di gerbang pun menghampiriku karena kelamaan menunggu.
            “Ah mungkin ini cuma orang iseng aja Vie, ayo ah cepetan..”
Saat aku menaiki sepedah, terasa berat sekali.
            “Bannya kempes Vie, jangan di paksain..”
Kempes? Perasaan dari pagi tadi sepedaku dalam keadaan baik-baik saja. Meriska pun mengajakku agar kembali menemui Bu Indri dan mengatakan bahwa sepeda ku kedua bannya bocor. Lalu aku menceritakan dan menunjukkan juga dus yang membuatku tertegun tadi.
            “ah, mungkin cuma orang iseng aja Vie, yaudah kamu belinya pake motor ibu aja, biar Meriska yang bawa. Ini kuncinya.” Bu Indri member Meriska kunci motornya dan melaju membeli bolu Surabaya.
Saat latihan PMR selesai dan pulang, aku menenteng sepeda-ku karena tak layak dinaiki. Ku bawa sepeda itu menuju bengkel yang tak jauh dari sekolah.
“wah, bannya bocor banyak banget neng.. ada lima lubang…”
“kalau di tambal jadi berapa bang?”
“dua puluh lima ribu neng…”
Ku urungkan niat ku untuk menambal dan kembali menenteng sepeda sampai rumah. Dua puluh lima ribu? Nilai uang itu terlalu besar untuk dibawa kedalam saku seorang pelajar SMP. Di jalan, aku bertemu dengan Meriska yang sedang pulang berjalan kaki. Dia sangat mengkhawatir kan aku sampai-sampai dia ingin membayar uang tambal ban sepeda agar aku bisa sampai rumah dengan cepat. Tapi aku menolak itu, aku tak ingin merepotkan orang, apalag sahabatku.  Dirumah, hanya ada tante-ku, adik ku yang masih tiga tahun, dan adikku yang duduk di bangku SD. Dari luar pintu, sudah tercium bau tak sedap, bau bangkai. Aku mengabaikannya. Saat adik-ku mencari sumber bau itu, ia menemukan sebuah dus yang ada di kolong mobil terbungkusi katung plastik hitam. Saat dibukanya ternyata isinya adalah bangkai tikus. Aku hanya berpikir kalau si dalang dibalik bangkai ini adalah orang yang iseng juga.
Waktu sore, aku mendapatkan sms dari Nadine.
HEH KAMU JANGAN SOK BANGET DEH JADI ORANG PALING PINTER DAN CANTIK DISEKOLAH. HATI KAMU ITU BUSUK BANGET TAU! KAMU ITU JELEK!
Aku tanyakan lagi pada Nadine. Memastikan kenapa dia mengirim pesan itu.
Aku tau, kamu kan yang ngirim pesan kayak begini ke Tania?! “HEY BADAN GENDUT, JANGAN SOK PINTER DEH ! KAMU NGGAK TAU SIAPA AKU KAN? AKU ITU REVIE KHAIRUNISA SI ANAK PINTER DAN CANTIK DISEKOLAH! ASAL KAMU TAU, JANGAN SOK BELAGU!” iya kan itu kamu yang kirim ke dia? Ngaku aja!
Dari kata kata di sms yang katanya aku si pengirim, penyebutan namaku berbeda, aku Revie Khoirunnisaa. Sepertinya terlihat jelas dar maksud mereka. Ya! Menyalahkan diriku dengan cara memfitnahku seperti dalam drama.
Esok harinya, masih pagi sekali, aku memasuki kelas. Aku sangat terpana, mataku tertuju pada tulisan-tulisan yang menghiasi papan tulis putih dihadapan kelas. Namaku terpampang banyak disana. “Revie Kunyuk” “Revie belagu” “Revie sok pinter”. Sampai guru datang, tak ada satupun siswa yang mau menghapus tulisan itu. Lalu aku mendengar perbincangan teman-teman sekelas tentang bangkai tikus dalam dus yang ada di kolong mobil, dirumahku kemarin. Darimana mereka tahu? Apa ini bagian dari rencana geng-nya Nadine?
Aku menjadi takut, takut untuk melakukan sesuatu, aku takut salah. Semua perasaan berkecamuk di dalam hatiku. Rasanya aku ingin menangis. Meriska datang menatapku dengan raut wajah khawatir dan ia berkata akan membalas perbuatan Nadine itu. Tapi aku menghalang niatnya. Jangan lakukan, aku ingin merasakannya sendiri. Menikmati kepedihan.
“Aku nggak apa-apa Ka, aku baik-baik aja…”
“Tapi kalau kamu terus begini, kamu akan terus merasa sakit!”
“Percaya sama aku, walaupun aku terus diperlakukan seperti ini, buktinya aku masih hidup, aku masih bisa bernapas, aku masih bisa mendapatkan nilai yang bagus. Aku yakin aku nggak kenapa-kenapa…” Ucapku yang membuat air mata Meriska pecah. Dia terharu.
“Vie, sekuat itu kah dirimu? Gimana cara kamu meyakini diri kamu kalu kamu baik-baik aja?”
            “Tatap mataku Ka, kamu tau kan kalau mata itu nggak bisa berbohong?”
Aku menggunakan cara unik-ku untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Meriska menyambutku kedalam pelukannya dengan membuka lebar tangannya. Aku membiarkan tubuhku masuk kedalamnya dan tak sengaja air mata-ku pecah sedikit yang akhrnya aku tahan.
Sepulang sekolah, seperti biasa aku menuju parkiran sepeda. Aku menemukan sepedah-ku dalam keadaan tergeletak di aspal dan ban depan-belakang bocor lagi juga posisi keranjang tak beraturan. Rasanya sangat menyesakkan. Aku menyambutnya dengan senyuman. Aku sengaja membiarkan drama ini terus berlanjut karena aku tak ingin menumbuhkan rasa kebencian. Bukan, bukan berarti aku takut membalasnya. Aku hanya tak ingin punya dendam. Walaupun aku dianggap orang sebagai pecundang, aku tetap diam. Karena aku tak tahu apa salahku yang membuat mereka menjadi seperti itu terhadapku. Diamku tak salah, diam bukan  berarti pecundang, diam itu emas.

You May Also Like

0 komentar