Diam, Buka Berarti Pecundang
ini cerpen yang di adaptasi dari kisah yang di postingan "Feeling Stored" :)
selamat membaca.....
Aku
pernah mengalami bagaimana diriku berada di posisi orang-orang yang pernah
mengalami kejadian buruk. Aku mengalami kesulitan dan saat ingin menangis dan
berteriak di hadapan semua orang untuk mengungkapkan segala kesedihan, aku
hanya bisa berkata “aku nggak apa-apa” seolah-olah diriku dalam keadaan
baik-baik saja. Pengalaman ini terjadi tepatnya saat duduk di bangku kelas dua
Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, aku selalu diam, tidak bereaksi dan
benar-benar dianggap menjadi seorang pecundang.
***
Baru beberapa minggu yang lalu, aku
dan geng-nya Nadine berbaikan kembali setelah kasus pertengkaran kami yang
berawal dari social media yang membuat diriku dan mereka tidak saling
bertegur-sapa di sekolah. Hari ini ada pelajaran olah raga.Aku dan mreka
bermain layaknya teman seperti biasa. Tak ada pandangan saling dendam lagi.
Bermain basket pun dengan perasaan riang dan bersaing secara sehat. Saat
permainan selesai, guru olah raga yang membimbing kami memperbolehkan kami
untuk bermain bola basket, lalu guru itu pergi meninggalkan kami. Semua murid
kelasku lelah dan kembali menuju kelas kecuali aku dan Nadine serta Tania yang
masih ingin bermain. Kami mendapatkan dua buah bola basket. Ku pantulkan dan ku
bawa bola itu melalui lapangan menuju ring basket yang ada di ujung lapangan
untuk memasukan bola.Berkali-kali ku coba masukkan bola itu kedalam ring, namun
tak berhasil. Terdengar tawaan dari Tania saat aku mencoba masukkan kembali
tapi gagal. Ya, aku tahu dia pintar sekali dalam bermain basket , pantas saja
dia menertawakan diriku. Saat ku coba memasukan kembali, aku memasukkan bola
itu kedalam ring basket. Dan suara tawaan itu berhenti menjadi diam. Saat ku
ulangi lagi dan berhasil. Untuk ketiga kalinya aku memasukkan bola kedalam ring
dan berhasil lagi, aku terjatuh tak sengaja menabrak seseorang yang ada di
belakangku hingga membuatku terjatuh dan menimpanya. Saat aku bangun berdiri
dan berbalik mencari tahu siapa yang aku tabrak tadi, Tania sudah dalam posisi
menduduki aspal lapangan. Ternyata yang aku tak sengaja tabrak tadi adalah
Tania. Dia merintih kesakitan sambil terus memegangi pergelangan kaki kanannya.
Ia terkilir, pasti rasanya sakit.
“Astaga, Tania… ma… maaf… aku nggak
sengaja, beneran deh, maaf banget…” Pintaku sambil berjongkok di hadapan Tania.
Lantas ku pagang terus tangannya.
“iya, ngga apa-apa vie, Cuma sakit
sedikit doing kok…” Jawabnya seperti orang yang sedang berbohong menutupi
perasaan yang sebenarnya. Padahal jelas sekali terlihat raut wajahnya
mencerminkan rasa kesakitan. Sedangkan Nadine menatapku dengan wajah yang
menyeramkan seperti terpampang jelas amarah dan dendam terlukis. Karena
peristiwa ini, permainan basket kami selesai. Aku dan Nadine merangkul dan
membawa Tania menuju kelas agar dia bisa merasakan kenyamanan dan mengurangi
rasa sakit di kakinya. Setelah merasa santai did lm kelas, Nadine terus
menatapku dengan tatapan amarah, seolah-olah ia tidak terima bahwa sahabatnya
itu kesakitan karena kesalahanku. Padahal, tadi saat bermain aku benar-benar
tak sengaja.
“Dine, maaf kalo kamu marah sama
aku…” Aku balas pandangannya dengan wajah memohon. Dia tetap diam.
“Makannya jadi orang jangan sok!
Belagu amat sih main basket!” tiba-tiba kata-kata keluar dari mulutnya.
Hatiku tersentak, tiba-tiba Nadine
berkata seperti itu dihadapanku dengan nada suara tinggi. Hal ini membuat
nyaliku menciut.
Setelah jam pelajaran selesai dan
bel pulang berbunyi, aku pergi menuju tempat dimana anggota-anggota ekskul PMR
berkumpul. Karena aku salah satu anggotanya, tak lengkap jika aku tak hadir.
Setengah jam aku dan keluarga PMR berada di lapangan untuk latihan lomba. Bu Indri, Pembina ekskul PMR
memanggil diriku dan sahabatku, Mariska.
“Revie, ibu minta tolong belikan kue
bolu Surabaya di belokan jalan dekat sekolah, bisa?” pinta Bu Indri sambil
membuka isi dompetnya.
“Oh tentu bu, mau beli berapa?”
“satu aja ya, pokoknya nggak pake
lama…” Jawab Bu Indri dengan nada bercanda dan memberiku selembar uang kertas
berwarna biru. Lima puluh ribu rupiah.
Aku dan Meriska pun pergi menuju
parkiran sepeda untuk mengambil sepedaku yang tersimpan disana. Saat aku
menghampiri sepeda, ada sebuah kotak dus merah. Saat ku buka, isinya adalah
sebuah kertas yang ditimpa sebuah boneka Barbie yang terpotong-potong serta
penuh dengan corat coret pewarna merah, entah itu pewarna cair atau lipstick.
Dengan perasaan heran, ku buka sebuah kertas dan ku lihat tulisan berwarna
merah sama seperti pewarna yang terdapat pada tubuh boneka Barbie.
Hidupmu
sedang terancam !!!!
Aku
tertegun, apakah mungkin ini hanya sekedar orang jahil saja? Atau serius? Au
tak tahu jelas. Meriska, yang telah lama menungguku di gerbang pun menghampiriku
karena kelamaan menunggu.
“Ah mungkin ini cuma orang iseng aja
Vie, ayo ah cepetan..”
Saat
aku menaiki sepedah, terasa berat sekali.
“Bannya kempes Vie, jangan di
paksain..”
Kempes?
Perasaan dari pagi tadi sepedaku dalam keadaan baik-baik saja. Meriska pun
mengajakku agar kembali menemui Bu Indri dan mengatakan bahwa sepeda ku kedua
bannya bocor. Lalu aku menceritakan dan menunjukkan juga dus yang membuatku
tertegun tadi.
“ah, mungkin cuma orang iseng aja
Vie, yaudah kamu belinya pake motor ibu aja, biar Meriska yang bawa. Ini
kuncinya.” Bu Indri member Meriska kunci motornya dan melaju membeli bolu
Surabaya.
Saat
latihan PMR selesai dan pulang, aku menenteng sepeda-ku karena tak layak
dinaiki. Ku bawa sepeda itu menuju bengkel yang tak jauh dari sekolah.
“wah,
bannya bocor banyak banget neng.. ada lima lubang…”
“kalau
di tambal jadi berapa bang?”
“dua
puluh lima ribu neng…”
Ku
urungkan niat ku untuk menambal dan kembali menenteng sepeda sampai rumah. Dua
puluh lima ribu? Nilai uang itu terlalu besar untuk dibawa kedalam saku seorang
pelajar SMP. Di jalan, aku bertemu dengan Meriska yang sedang pulang berjalan
kaki. Dia sangat mengkhawatir kan aku sampai-sampai dia ingin membayar uang
tambal ban sepeda agar aku bisa sampai rumah dengan cepat. Tapi aku menolak
itu, aku tak ingin merepotkan orang, apalag sahabatku. Dirumah, hanya ada tante-ku, adik ku yang
masih tiga tahun, dan adikku yang duduk di bangku SD. Dari luar pintu, sudah
tercium bau tak sedap, bau bangkai. Aku mengabaikannya. Saat adik-ku mencari
sumber bau itu, ia menemukan sebuah dus yang ada di kolong mobil terbungkusi
katung plastik hitam. Saat dibukanya ternyata isinya adalah bangkai tikus. Aku
hanya berpikir kalau si dalang dibalik bangkai ini adalah orang yang iseng
juga.
Waktu
sore, aku mendapatkan sms dari Nadine.
HEH
KAMU JANGAN SOK BANGET DEH JADI ORANG PALING PINTER DAN CANTIK DISEKOLAH. HATI
KAMU ITU BUSUK BANGET TAU! KAMU ITU JELEK!
Aku
tanyakan lagi pada Nadine. Memastikan kenapa dia mengirim pesan itu.
Aku
tau, kamu kan yang ngirim pesan kayak begini ke Tania?! “HEY BADAN GENDUT,
JANGAN SOK PINTER DEH ! KAMU NGGAK TAU SIAPA AKU KAN? AKU ITU REVIE KHAIRUNISA
SI ANAK PINTER DAN CANTIK DISEKOLAH! ASAL KAMU TAU, JANGAN SOK BELAGU!” iya kan
itu kamu yang kirim ke dia? Ngaku aja!
Dari
kata kata di sms yang katanya aku si pengirim, penyebutan namaku berbeda, aku
Revie Khoirunnisaa. Sepertinya terlihat jelas dar maksud mereka. Ya!
Menyalahkan diriku dengan cara memfitnahku seperti dalam drama.
Esok
harinya, masih pagi sekali, aku memasuki kelas. Aku sangat terpana, mataku
tertuju pada tulisan-tulisan yang menghiasi papan tulis putih dihadapan kelas.
Namaku terpampang banyak disana. “Revie Kunyuk” “Revie belagu” “Revie sok
pinter”. Sampai guru datang, tak ada satupun siswa yang mau menghapus tulisan
itu. Lalu aku mendengar perbincangan teman-teman sekelas tentang bangkai tikus
dalam dus yang ada di kolong mobil, dirumahku kemarin. Darimana mereka tahu?
Apa ini bagian dari rencana geng-nya Nadine?
Aku
menjadi takut, takut untuk melakukan sesuatu, aku takut salah. Semua perasaan
berkecamuk di dalam hatiku. Rasanya aku ingin menangis. Meriska datang menatapku
dengan raut wajah khawatir dan ia berkata akan membalas perbuatan Nadine itu.
Tapi aku menghalang niatnya. Jangan lakukan, aku ingin merasakannya sendiri.
Menikmati kepedihan.
“Aku
nggak apa-apa Ka, aku baik-baik aja…”
“Tapi
kalau kamu terus begini, kamu akan terus merasa sakit!”
“Percaya
sama aku, walaupun aku terus diperlakukan seperti ini, buktinya aku masih
hidup, aku masih bisa bernapas, aku masih bisa mendapatkan nilai yang bagus.
Aku yakin aku nggak kenapa-kenapa…” Ucapku yang membuat air mata Meriska pecah.
Dia terharu.
“Vie,
sekuat itu kah dirimu? Gimana cara kamu meyakini diri kamu kalu kamu baik-baik
aja?”
“Tatap mataku Ka, kamu tau kan kalau
mata itu nggak bisa berbohong?”
Aku
menggunakan cara unik-ku untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Meriska
menyambutku kedalam pelukannya dengan membuka lebar tangannya. Aku membiarkan
tubuhku masuk kedalamnya dan tak sengaja air mata-ku pecah sedikit yang akhrnya
aku tahan.
Sepulang
sekolah, seperti biasa aku menuju parkiran sepeda. Aku menemukan sepedah-ku
dalam keadaan tergeletak di aspal dan ban depan-belakang bocor lagi juga posisi
keranjang tak beraturan. Rasanya sangat menyesakkan. Aku menyambutnya dengan
senyuman. Aku sengaja membiarkan drama ini terus berlanjut karena aku tak ingin
menumbuhkan rasa kebencian. Bukan, bukan berarti aku takut membalasnya. Aku
hanya tak ingin punya dendam. Walaupun aku dianggap orang sebagai pecundang,
aku tetap diam. Karena aku tak tahu apa salahku yang membuat mereka menjadi
seperti itu terhadapku. Diamku tak salah, diam bukan berarti pecundang, diam itu emas.
0 komentar