Pasangan
hidup impian.
Perempuan
mana yang tak mendambakan sesosok keturunan adam yang seperti Muzammil?
Tentu
rata-rata perempuan yang beriman mungkin bisa saja mendambakan yang seperti
itu.
Shaleh,
rajin ibadah, hafizh qur’an , terjaga. Siapa yang tak mendambakan kehidupan
surga dunia bersamanya?
(Hehe apasih
han)
Terkadang,
kenyataan memang tidak sesuai dengan keinginan. Kita sebagai hamba Allah hanya
harus berserah diri dan meminta padanya agar diberikan yang terbaik untuk
kehidupan. Karena apa yang baik bagi kita, belum tentu itu yang terbaik untuk
kehidupan kita.
Soal
pasangan hidup, pasti saja dalam benak hati di dalam sana menginginkan yang
sempurna. Tapi kita harus sadar diri, kalau jodoh itu adalah cerminan diri
kita. Dimana kita menjadi orang yang baik, maka jodoh kita yang baik pula. Dan
jika kita menjadi orang jahat, jodoh kita akan yang jahat juga.
Saya sebagai
perempuan hanya mendambakan pasangan hidup yang ada iman di hatinya. Ya, lelaki
yang beriman. Karena saya percaya, dengan iman yang kuat, segala segi kehidupannya
akan baik.
Dia beriman,
lalu dia berjudi. Itu tidak mungkin.
Dia beriman,
lalu dia membunuh. Itu tidak mungkin.
Karena orang
yang beriman, akan tahu apa yang baik dan bermanfaat bagi kehidupannya juga taat
dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.
Sebab, orang
yang beriman memiliki rasa takut di dalam hatinya jika melakukan kesalahan baik
kesalahan besar ataupun kecil. Melakukan ketaatan dengan membaca al-qur’an pun
termasuk ciri yang beriman, sebab ia yakin bahwa al-qur’an adalah
pelengkap,penyempurna, dan pedoman kehidupannya. Selain itu juga orang yang
beriman akan selalu menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sehingga hatinya
tenang dan kehidupannya pun tentram dan juga senang membagikan sebagian hartanya
untuk sedekah.
Ibuku pernah
berkata, jika terdapat lelaki di suatu rumah lalu lelaki tersebut jarang
ataupun bahkan tidak shalat di masjid padahal dia mampu, Rasul mengancam
rumahnya dan isinya itu (keberkahan,istri, anak, atau saudara yg tinggal di
rumahnya) di bakar api neraka di akhirat nanti.
Saya sempat kurang percaya,
karena bukan kah bisa saja setiap orang shalat di manapun termasuk rumahnya? .
Ternyata iya itu memang betul, tapi seorang lelaki diwajibkan untuk berjamaah. Terlebih
lagi di masjid.
Ada dalilnya
tentang ancaman Rasulullah SAW.
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh, aku pernah bertekad untuk menyuruh orang membawa kayu bakar dan menyalakannya, kemudian aku akan perintahkan orang untuk mengumandangkan adzan untuk shalat [berjama'ah] kemudian akan aku suruh salah seorang untuk mengimami orang-orang [jama'ah] yang ada lalu aku akan berangkat mencari para lelaki yang tidak ikut shalat berjama’ah itu supaya aku bisa membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari [644] dan Muslim [651]).
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh, aku pernah bertekad untuk menyuruh orang membawa kayu bakar dan menyalakannya, kemudian aku akan perintahkan orang untuk mengumandangkan adzan untuk shalat [berjama'ah] kemudian akan aku suruh salah seorang untuk mengimami orang-orang [jama'ah] yang ada lalu aku akan berangkat mencari para lelaki yang tidak ikut shalat berjama’ah itu supaya aku bisa membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari [644] dan Muslim [651]).
Ya, saya menginginkan pasangan hidup yang beriman, yang selalu
mendirikan shalat wajibnya berjamaah di masjid dan mencintai Allah & Rasul.
Cinta saya tidak di nomor satukan? Cintanya terhadap saya hanya sebesar
biji jagung? Cintanya terhadap saya tidak banyak?
Tak apa, saya rela,sebab saya menerima itu. Jikalau dia memang
memberikan seluruh cintanya kepada Allah dan Rasul. Dan bukankah posisi saya
itu ada di urutan bawah ya sebagai istri? (hehehe)
Ya, Mencintai karena Allah. Mencintai karena mengharap Ridha Allah.
Lalu? Apakah saya tidak mendambakan lelaki yang tampan dan kaya dengan
pekerjaan dan jabatan yang terpandang?
Bagi saya, itu hanya bonus.
Tampan, kelebihan fisik bagi saya itu bukan apa-apa. Sebab tidak akan
seseorang mempunyai kelebihan melainkan atas seizin Allah. Berarti tampan,
milik Allah? Memang.
Jikalau menua, ketampanan akan luntur, semua kulit akan menjadi keriput, dan jika meninggal akan bersatu dengan tanah , bukan?
Jikalau saya memilih pasangan hidup atas dasar fisik, suatu saat saya
akan meninggalkannya sebab ia sudah tidak tampan lagi secara tidak disengaja.
Kenapa? Karena saya hanya menikmati ketampanannya, bukan dirinya.
Kaya, kelebihan harta adalah suatu kemajuan? Ya, bila semua berada di
jalan Allah. Tapi, bagi saya harta bukan segalanya. Karena tidak akan ada harta
yang dimiliki kita melainkan atas seizin Allah. Sebab, Allah sudah mengatur
rezeki makhluk-Nya. Untuk apa memiliki banyak harta bila didapatkan dari usaha
yang jelek? Semisal mencuri, riba, dan hutang? Ya, memang nikmat, tapi tak ada keberkahannya.
Rasulullah, mencintai umatnya,
dengan cinta yang begitu besar meskipun keimanan dalam hati umatnya
hanya seukur biji kurma, biji jagung, bahkan biji zarah.
Betapa sombongnya kita, jika kita mencintai ciptaan-Nya jika hanya
menginginkan seseorang dengan takar keimanannya yang sempurna.
Saya hanya menginginkan pasangan hidup yang beriman. Yang ada iman di hatinya,
entah sebesar apa.
Yang mau diajak menuju kebaikan, yang mau belajar bersama untuk meraih
keridhaan.
Yang mau menerima kekurangan saya.
Yang mau menerima apa adanya diri saya.
Hanya karena Allah.
Yang mau menerima kekurangan saya.
Yang mau menerima apa adanya diri saya.
Hanya karena Allah.
Lalu ternyata dia hafizh dengan hafalan 30 juz? Wah itu mah bonus.
Saya tidak menuntut yang hafalannya banyak, yang infaknya banyak, yang
tahajjud nya banyak. Itu cuma bonus.
Bukankah tidak semua orang sama? bukankah setiap orang memiliki jalan
hidupnya masing-masing?
Tapi saya percaya, setiap orang punya kemampuan untuk menjadi lebih
baik.
Hijrah, perjalanan untuk menjadi lebih baik. Hidayah memang tak kenal
tempat dan tak kenal waktu, caranya? Di jemput, bukan di tunggu.
Tapi, bukankah lebih indah jika menjemput hidayah dan berhijrah
bersama-sama?