facebook google twitter tumblr instagram linkedin
  • Home
  • Journal
    • Students Tel-U
  • Portfolio
  • YouTube
  • Instagram

Tanpa Batas

Berani Bermimpi - Berani Melangkah - Berani Mewujudkan!


"Aku gak akan pergi ninggalin kamu. I'm promise."

Aku ingat sekali kata-katamu saat kamu menjawab apa yang ada di balik tulisanku, kemarin.

Mencintaimu, namun mengapa kamu justru memberikan harapan?
Mungkin tak ada gunanya untuk terus menghindari kamu.
Akhirnya aku memutuskan untuk menjawab itu.

"Not promise, just prove. Show to  me, let me see..."

Dan kamu pun hanya membalasnya dengan senyum singkat tanpa ada kalimat yang tersurat.
Kamu memberi harapan lagi? Batinku.

Aku merasakan perubahan kamu.
Aneh sekali.
Bukankah kamu memang sudah meninggalkanku untuk beberapa tahun yang lama?
Tapi mengapantiba-tiba kamu kembali dan memberi harapan lalu berkata kalau kamu tidak akan pergi meninggalkanku lagi?
Itu mungkin hanya sesaat! 
Hanya sementara!
Mungkin saja nanti kemudian kamu akan pergi lagi pada kenyataannya.

Memang terasa seperti bermimpi, saat kamu menjawab kebimbangan diriku.

Aku tidak pernah terpikir kenapa kamu sampai bisa berbuat itu kepadaku.
Itu mungkin karena dibutakan cinta olehmu.

Ya!
Kamu bohong! Katakan kamu bohong!
Kamu bilang, tidak akan pergi meninggalkan aku.
Dan kamu pun berjanji.
Apa kata-katamu hanya berlaku untuk sehari itu saja?

Kedatangan kamu kembali membuat kecurigaan dalam diriku.

Harusnya aku tidak perlu terpana oleh kata-kata yang kamu berikan!
Harusnya aku tidak terpikat padamu!
Harusnya aku tidak memulai pendekatan -lagi- padamu!
Harusnya aku sudah melupakan rasa itu terhadapmu!

Karena aku tahu sebelumnya,
Sejauh apapun aku berharap padamu, kamu tidak akan pernah kembali.

Ternyata aku bodoh, sangat bodoh!
Bodoh untuk terus mengejar hatimu, harapanmu, bahkan cintamu.
Walaupun sebenarnya aku tahu jawabanmu.
Nihil.

Benar, kamu cinta pertama yang selalu memberiku harapan.
Selama ini, aku seperti orang yang berharap bisa menangkap asap yang terbang menari lamban di udara.
Ya! Tidak akan pernah bisa ku sentuh dan ku tangkap.



20.29.00 No komentar



Aku tahu, cinta memang tidak akan pernah mengumumkan kedatangannya.

Cinta datang mengendap-ngendap tanpa permisi, menyusup menuju liang hati.

Cinta itu ada disini. Masih disini, di hati.


Ada sebuah nama yang masih bersemayam di kedalaman hatiku, aku menikmatinya.

Dari seorang pria yang elah membawaku menyentuh cinta untuk pertama kalinya.

Nama sosok itu sekarang masih istimewa untukku.

Selalu.


Hati pun berdesir, bergejolak, ingin meluapkan apa yang selalu hinggap disana.

Di dalamnya.


Untuk kamu, lelaki yang selalu membuatku menunggu,

Kamu memang telah membawaku melangkah menyentuh cinta untuk kali pertama..

Kau memang cinta pertama, namun kau membuatku berharap.


Apa kamu tahu apa yang sudah kulalui selama enam tahun ini sejak kita saling mengenal, tanpamu?

Apa kamu tahu bagaimana hancurnya hatiku saat kamu pergi jauh meninggalkan aku begitu saja dua tahun yang lalu?

Apa kamu tahu rasanya setiap kali ingin melihat pesan di sosial mediaku dan selalu namamu yang aku harapkan muncul disana?

Tahu rasanya ketika kamu tidak tahu seseorang itu tak akan pernah kembali tapi kamu tidak pernah berhenti mengharapkannya?

Tahu bagaimana rasanya jatuh kemudian harus belajar berdiri, seorang diri? Dimana kamu saat itu? 

Kamu tidak ada! 

Dan setelah aku berhasil melalui semuanya, dengan seenak hati kamu kembali menghancurkan semuanya dengan sebuah harapan?

Dan harapanmu itu tak ada jawaban pasti untukku.


Kamu, kapan akan memberiku jawaban pasti atas penantian panjangku? 

Kamu datang hanya untuk memberiku harapan lalu pergi lagi.

Kamu egois.


Aku tidak lelah , hanya saja kamu membuat hatiku bimbang bak kapal layar yg terombang ambing di tengah lautan bergelombang dengan badai yang dahsyat.

Menyiksa.


Aku tidak menyalahkan kamu.

Aku menyalahkan diriku sendiri. 

Aku terlalu bodoh untuk setia menunggu jawaban yang mungkin tidak datang darimu.



22.36.00 No komentar


Langit hitam ditaburi bintang yang berkbilau-kilau kian ramai menyebar di lembaran langit. Tampak sebuah benda berukuran lebih besar diantara kilauan-kilauan kecil, berbentuk lingkaran penuh dan juga bercahaya. Di balik topeng hias, mataku menatap benda itu yang semua orang sebut ‘Bulan’.
Seorang lelaki berkulit putih bersih berdiri di sampingku. Ikut memperhatikan dengan seksama bulan terang dibalik topengnya. Kulirik malu-malu dia yang ada di sebelahku, dibalut celana hitam panjang dan jas. Pandangannya fokus pada lembaran langit yang meluas.
Aku terpaku entah berapa lama. Menyatukan serpihan-serpihan yang berhamburan di liang hati. Dapatkah ini dikatakan kebetulan? Ah… aku tak tahu harus berbuat apa. Lidahku beku. Benar-benar beku sosok disampingku. Tanpa sadar aku menghela napas panjang, yang membuatku kembali ke tempat kami pernah duduk disuatu hari setahun yang lalu…
***
Dia menolehkan kepalanya ke arahku. Jelas sekali aku menangkap raut wajahnya yang lembut. Angin siang hari berhembus meniup helai-helai rambut serta dedaunan yang ada di bawah pohon yang terhalang oleh bangku taman. Rok abu-abu yang dipakai pun ikut serta melambai-lambai tertiup angin.
“apa yang lo pikirin kalau ada angin?” tanya Riza yang mengenakan seragam lengkap dengan kemeja putih dan celana abu-abunya. Kami duduk di salah satu bangku taman yang ada di taman sekolah.
“Angin?” tanyaku, tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang ia sampaikan. Dia hanya mengangguk tanpa berkata apapun.
“Hmm, mungkin bisa membawa terbang, ya kalau dia datang nggak berhenti behembus sih..” Jawabku sambil menghirup udara yang baru saja dilewati angin.
Dia mengangguk lagi. Lalu, aku balikkan pertanyaan itu padanya. Dia berkata, ia tidak dapat melihat angin tapi dapat merasakannya. Terkadang angin itu bertiup kencang, membuat dirinya tak sadar diri bahkan menahan rasa yang ada dalam hati, tapi dia dapat memahami itu. Dia berkata lagi, angin juga dapat membawa apapun terbang dengan tujuan tak jelas. Aku mengkerutkan dahi, tak mengerti apa yang ia bicarakan.
“Bayang-bayang maksud gue, pipi gelembung…” jelas Riza menepak keningku lalu menarik kedua pipi ku.
Kami tidak pernah terikat dalam suatu hubungan seperti hal yang sering dilalukan oleh remaja pada biasanya, berpacaran. Tidak. Mungkin saja dia tidak menginginkanku. Entah aku yang tak pernah bisa membuatnya tertarik, atau karena diriku sama seperti gadis yang sedang diincarnya. Gadis yang seumuran denganku, yang duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Tiap hari yang aku dan dia untai bersama tesirat nyata dalam hatiku. Sahabat ku bilang, dia melihat seperti ada hubungan diantara aku dan Riza saat kami selalu berdua seolah tak ada jarak yang memisahkan.
Apakah Riza sadar itu? Karena itu juga yang kurasakan.
***
Mataku tiada henti menyusuri tiap buku-buku yang aku cari. Sampai akhirnya aku merasa sangat tenang saat melihat buku yang aku cari sudah berada di depan mata. Ku ulurkan tanganku cepat untuk mengambil buku itu, namun seseorang menarik buku itu dari hadapanku hingga membuat diriku ini tersentak kaget dan sedikit kecewa.
“Hei pipi gelembung! Tumbenan masuk perpus?”
Seperti biasa, Riza datang dan memanggilku begitu. Meskipun tubuhku tinggi dan kecil, tapi ada satu hal yang paling menonjol adalah seperti yang sering ia katakan, pipi.
“Emang biasanya aku masuk kemana?”
“Biasanya lo kan ke kantin…”
Aku terkekeh, lalu mengajaknya duduk bersama di salah satu bangku. Kami berhadapan. Tak ada perbincangan sepanjang waktu ini. Kembali kebisuan memeluk kami berdua arena sibuk membaca. Aku tak tahu mengapa sesuatu yang pernah memenuhi kepala dan begitu layak untuk di bicarakan, mendadak lenyap bagai dirampas pencuri. Jantungku beredegup. Akhirnya, aku menemukan cara untuk tidak begitu merasakan gemuruh di dalam dada, dengan membuang pandangan ke luar jendela perpustakaan. Memperhatikan dedaunan yang terbang tertiup angin. Benar apa yang dikatakan Riza kala itu, angin tak dapat dilihat. Sudah hampir sepuluh menit, tetapi belum ada sepatah kata pun yang terucap dari kami berdua.
Aku menolehkan kepalaku menatapi dia. Tanpa aku sadari, dia juga tengah menatapku. Akhirnya entah berapa detik, pandangan kami saling beradu. Aku terpaku menatap matanya. Wajah tampannya menghangat.
Dia melambaikan tangannya dihadapanku. Tiba-tiba aku tersentak. Senyum jelas tampak di wajahnya.
“Intan, gue punya kabar baik nih? Mau denger nggak lo?”
“Kabar baik?” Aku menatapnya heran. Dahiku berkerut.
Mata hitamnya menatapku dalam, ketika dia mengatakan kalimat itu.
“Gue dapetin cewek! Akhirnya gue bisa juga kan buktiin itu!” Riza tersenyum puas.
“Wah, hebat banget Za!” kataku, sempat tersentak menahan kegetiran.
“Kok lo nggak ngucapin sih?”
“Kamu kan belum nunjukkin siapa cewek itu, ya nanti aja kalau ketemu…” aku menghela napas panjang.Aku mencoba untuk bersikap tenang. Lantas, aku cepat-cepat merapihkan buku yang aku baca lalu pergi ke tempat dimana aku merasa tenang. Kursi taman tepat di bawah pohon yang ada di taman sekolah.
“sendirian aja nih?” suara sahabatku, Ike mengkagetkanku yang tengah larut dalam lamunan. Aku hanya mengangguk.
“Aku denger, Riza udah punya pacar lho..” Suara itu begitu mengusik.
“Aku udah tau. Oh iya, sama siapa sih?” jawabku.
Ike menjawabnya dengan mantap lalu duduk di sampingku. “Mieke”
“Wah bagus kalo gitu! Mereka cocok banget ya..”
“Kamu nggak nangis, Tan?”
“apa yang harus di tangisin? Nggak ada kali…”
“Kalo mau nangis nggak usah gengsi kali Tan.. nangis aja..”
Karena itulah, kekuatanku untuk berbicara bagai di rampas tangan kukuh kenyataan. Kenyataan seperti kopi tanpa gula. Getir. Dan perih. Sekuat tenaga , aku berusaha menata hati yang kacau-balau. Tanpa aku sadari sebelumnya, ternyata mataku menumpahkan bulir-bulir bening. Aku sadar kenyataan ini tak sepantasnya mendapat penjelasan lagi. Kepalaku jatuh di bahu Ike. Semuanya sudah jelas. Kenyataan itu kini sudah jelas. Melihatnya hanya akan membuat berkas-berkas luka mengaga. Ini pahit. Aku akan menghilang dari hadapannya.
***
Aku masih berdiri tepatnya dibawah langit hitam di acara prom night  pelepasan siswa-siswi angkatanku yang diadakan di sekolah. Masih dalam keadaan diam, berdiri mematung dan lelaki yang mengenakan topengnya masih juga berdiri di sampingku. Tak berapa lama kemudian, seorang gadis sebaya dengan kami datang menghampiri. Tepatnya menghampiri Riza. Kedua sejoli itu tidak menyadari diriku yang berdiri menatap langit. Riza pun menggandeng kekasihnya mesra, Mieke.
“Kamu kok disini, sayang? Nggak kedinginan?” Tanya gadis itu.
Bagaimana bisa aku ada di sini? Tegak berdiri, menatap Riza memeluk kekasihnya yang canti dengan topeng hias yang indah? Dia telah berhubungan sekarang, tapi bukan denganku.
“Aku lagi nunggu teman, dia udah bilang mau ngasih ucapan kalau aku udah ngenalin kamu ke dia…” Jawab Riza. Suaranya terdengar jelas.
Aku membatu. Sanggupkah aku menunjukkan diriku kembali di hadapannya? Mungkinkah dia masih mengenaliku, sebagai sosok pipi gelembung yang ingin terbang terbawa angin?. Tidak, aku tidak berani bertemu dengan dia lagi.
Kesadaranku habis, aku masih mencintainya. Dan tak sempat ku katakan saat itu. aku mencintai Riza sejak pertama kali mengenal sosoknya.
Ku balikkan tubuhku dan mengangkat sedikit gaun yang aku kenakan lalu berjalan menuju bangku taman di bawah pohon meninggalkan tanpa menghiraukan sepasang kekasih yang tengah menunggu kedatangan seseorang, yaitu aku.
Dari kejauhan, aku menemukan siluet Ike yang tengah duduk di bangku taman. Aku tersenyum padanya. Aku yakin dia pasti tahu apa maksudku datang ketempat ini lagi.
“memutar kenangan?” tebaknya sambil terkekeh. Dia benar.
Sesaat kemudian, angin menyambutku. Lagi-lagi gaun yang ku kenakan tertiup angin. Sejuk. Dia benar, sekarang aku tak dapat melihat angin, hanya dapat merasakan. Benar juga, terkadang angin itu tertiup kencang sehingga membuatku tak sadar diri dan menahan rasa yang ada dalam hati. Adakah angin tanpa udara? adakah cinta tanpa hati? Terkadang aku sulit memikirkan semua ini. Namun akhirnya aku tahu, yang terbaik adalah merasakannya di dalam hati, meskipun tak terucapkan. Dan aku dapat memahami, bahwa cinta itu seperti angin. Dan apakah Riza tahu? Bahwa angin yang bersamaku kini masih mengenang lelaki itu, Riza.
***
16.00.00 No komentar

 ini cerpen yang di adaptasi dari kisah yang di postingan "Feeling Stored" :)
selamat membaca.....

Aku pernah mengalami bagaimana diriku berada di posisi orang-orang yang pernah mengalami kejadian buruk. Aku mengalami kesulitan dan saat ingin menangis dan berteriak di hadapan semua orang untuk mengungkapkan segala kesedihan, aku hanya bisa berkata “aku nggak apa-apa” seolah-olah diriku dalam keadaan baik-baik saja. Pengalaman ini terjadi tepatnya saat duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, aku selalu diam, tidak bereaksi dan benar-benar dianggap menjadi seorang pecundang.
***
            Baru beberapa minggu yang lalu, aku dan geng-nya Nadine berbaikan kembali setelah kasus pertengkaran kami yang berawal dari social media yang membuat diriku dan mereka tidak saling bertegur-sapa di sekolah. Hari ini ada pelajaran olah raga.Aku dan mreka bermain layaknya teman seperti biasa. Tak ada pandangan saling dendam lagi. Bermain basket pun dengan perasaan riang dan bersaing secara sehat. Saat permainan selesai, guru olah raga yang membimbing kami memperbolehkan kami untuk bermain bola basket, lalu guru itu pergi meninggalkan kami. Semua murid kelasku lelah dan kembali menuju kelas kecuali aku dan Nadine serta Tania yang masih ingin bermain. Kami mendapatkan dua buah bola basket. Ku pantulkan dan ku bawa bola itu melalui lapangan menuju ring basket yang ada di ujung lapangan untuk memasukan bola.Berkali-kali ku coba masukkan bola itu kedalam ring, namun tak berhasil. Terdengar tawaan dari Tania saat aku mencoba masukkan kembali tapi gagal. Ya, aku tahu dia pintar sekali dalam bermain basket , pantas saja dia menertawakan diriku. Saat ku coba memasukan kembali, aku memasukkan bola itu kedalam ring basket. Dan suara tawaan itu berhenti menjadi diam. Saat ku ulangi lagi dan berhasil. Untuk ketiga kalinya aku memasukkan bola kedalam ring dan berhasil lagi, aku terjatuh tak sengaja menabrak seseorang yang ada di belakangku hingga membuatku terjatuh dan menimpanya. Saat aku bangun berdiri dan berbalik mencari tahu siapa yang aku tabrak tadi, Tania sudah dalam posisi menduduki aspal lapangan. Ternyata yang aku tak sengaja tabrak tadi adalah Tania. Dia merintih kesakitan sambil terus memegangi pergelangan kaki kanannya. Ia terkilir, pasti rasanya sakit.
            “Astaga, Tania… ma… maaf… aku nggak sengaja, beneran deh, maaf banget…” Pintaku sambil berjongkok di hadapan Tania. Lantas ku pagang terus tangannya.
            “iya, ngga apa-apa vie, Cuma sakit sedikit doing kok…” Jawabnya seperti orang yang sedang berbohong menutupi perasaan yang sebenarnya. Padahal jelas sekali terlihat raut wajahnya mencerminkan rasa kesakitan. Sedangkan Nadine menatapku dengan wajah yang menyeramkan seperti terpampang jelas amarah dan dendam terlukis. Karena peristiwa ini, permainan basket kami selesai. Aku dan Nadine merangkul dan membawa Tania menuju kelas agar dia bisa merasakan kenyamanan dan mengurangi rasa sakit di kakinya. Setelah merasa santai did lm kelas, Nadine terus menatapku dengan tatapan amarah, seolah-olah ia tidak terima bahwa sahabatnya itu kesakitan karena kesalahanku. Padahal, tadi saat bermain aku benar-benar tak sengaja.
            “Dine, maaf kalo kamu marah sama aku…” Aku balas pandangannya dengan wajah memohon. Dia tetap diam.
            “Makannya jadi orang jangan sok! Belagu amat sih main basket!” tiba-tiba kata-kata keluar dari mulutnya.
            Hatiku tersentak, tiba-tiba Nadine berkata seperti itu dihadapanku dengan nada suara tinggi. Hal ini membuat nyaliku menciut.
            Setelah jam pelajaran selesai dan bel pulang berbunyi, aku pergi menuju tempat dimana anggota-anggota ekskul PMR berkumpul. Karena aku salah satu anggotanya, tak lengkap jika aku tak hadir. Setengah jam aku dan keluarga PMR berada di lapangan untuk  latihan lomba. Bu Indri, Pembina ekskul PMR memanggil diriku dan sahabatku, Mariska.
            “Revie, ibu minta tolong belikan kue bolu Surabaya di belokan jalan dekat sekolah, bisa?” pinta Bu Indri sambil membuka isi dompetnya.
            “Oh tentu bu, mau beli berapa?”
            “satu aja ya, pokoknya nggak pake lama…” Jawab Bu Indri dengan nada bercanda dan memberiku selembar uang kertas berwarna biru. Lima puluh ribu rupiah.
            Aku dan Meriska pun pergi menuju parkiran sepeda untuk mengambil sepedaku yang tersimpan disana. Saat aku menghampiri sepeda, ada sebuah kotak dus merah. Saat ku buka, isinya adalah sebuah kertas yang ditimpa sebuah boneka Barbie yang terpotong-potong serta penuh dengan corat coret pewarna merah, entah itu pewarna cair atau lipstick. Dengan perasaan heran, ku buka sebuah kertas dan ku lihat tulisan berwarna merah sama seperti pewarna yang terdapat pada tubuh boneka Barbie.
Hidupmu sedang terancam !!!!
Aku tertegun, apakah mungkin ini hanya sekedar orang jahil saja? Atau serius? Au tak tahu jelas. Meriska, yang telah lama menungguku di gerbang pun menghampiriku karena kelamaan menunggu.
            “Ah mungkin ini cuma orang iseng aja Vie, ayo ah cepetan..”
Saat aku menaiki sepedah, terasa berat sekali.
            “Bannya kempes Vie, jangan di paksain..”
Kempes? Perasaan dari pagi tadi sepedaku dalam keadaan baik-baik saja. Meriska pun mengajakku agar kembali menemui Bu Indri dan mengatakan bahwa sepeda ku kedua bannya bocor. Lalu aku menceritakan dan menunjukkan juga dus yang membuatku tertegun tadi.
            “ah, mungkin cuma orang iseng aja Vie, yaudah kamu belinya pake motor ibu aja, biar Meriska yang bawa. Ini kuncinya.” Bu Indri member Meriska kunci motornya dan melaju membeli bolu Surabaya.
Saat latihan PMR selesai dan pulang, aku menenteng sepeda-ku karena tak layak dinaiki. Ku bawa sepeda itu menuju bengkel yang tak jauh dari sekolah.
“wah, bannya bocor banyak banget neng.. ada lima lubang…”
“kalau di tambal jadi berapa bang?”
“dua puluh lima ribu neng…”
Ku urungkan niat ku untuk menambal dan kembali menenteng sepeda sampai rumah. Dua puluh lima ribu? Nilai uang itu terlalu besar untuk dibawa kedalam saku seorang pelajar SMP. Di jalan, aku bertemu dengan Meriska yang sedang pulang berjalan kaki. Dia sangat mengkhawatir kan aku sampai-sampai dia ingin membayar uang tambal ban sepeda agar aku bisa sampai rumah dengan cepat. Tapi aku menolak itu, aku tak ingin merepotkan orang, apalag sahabatku.  Dirumah, hanya ada tante-ku, adik ku yang masih tiga tahun, dan adikku yang duduk di bangku SD. Dari luar pintu, sudah tercium bau tak sedap, bau bangkai. Aku mengabaikannya. Saat adik-ku mencari sumber bau itu, ia menemukan sebuah dus yang ada di kolong mobil terbungkusi katung plastik hitam. Saat dibukanya ternyata isinya adalah bangkai tikus. Aku hanya berpikir kalau si dalang dibalik bangkai ini adalah orang yang iseng juga.
Waktu sore, aku mendapatkan sms dari Nadine.
HEH KAMU JANGAN SOK BANGET DEH JADI ORANG PALING PINTER DAN CANTIK DISEKOLAH. HATI KAMU ITU BUSUK BANGET TAU! KAMU ITU JELEK!
Aku tanyakan lagi pada Nadine. Memastikan kenapa dia mengirim pesan itu.
Aku tau, kamu kan yang ngirim pesan kayak begini ke Tania?! “HEY BADAN GENDUT, JANGAN SOK PINTER DEH ! KAMU NGGAK TAU SIAPA AKU KAN? AKU ITU REVIE KHAIRUNISA SI ANAK PINTER DAN CANTIK DISEKOLAH! ASAL KAMU TAU, JANGAN SOK BELAGU!” iya kan itu kamu yang kirim ke dia? Ngaku aja!
Dari kata kata di sms yang katanya aku si pengirim, penyebutan namaku berbeda, aku Revie Khoirunnisaa. Sepertinya terlihat jelas dar maksud mereka. Ya! Menyalahkan diriku dengan cara memfitnahku seperti dalam drama.
Esok harinya, masih pagi sekali, aku memasuki kelas. Aku sangat terpana, mataku tertuju pada tulisan-tulisan yang menghiasi papan tulis putih dihadapan kelas. Namaku terpampang banyak disana. “Revie Kunyuk” “Revie belagu” “Revie sok pinter”. Sampai guru datang, tak ada satupun siswa yang mau menghapus tulisan itu. Lalu aku mendengar perbincangan teman-teman sekelas tentang bangkai tikus dalam dus yang ada di kolong mobil, dirumahku kemarin. Darimana mereka tahu? Apa ini bagian dari rencana geng-nya Nadine?
Aku menjadi takut, takut untuk melakukan sesuatu, aku takut salah. Semua perasaan berkecamuk di dalam hatiku. Rasanya aku ingin menangis. Meriska datang menatapku dengan raut wajah khawatir dan ia berkata akan membalas perbuatan Nadine itu. Tapi aku menghalang niatnya. Jangan lakukan, aku ingin merasakannya sendiri. Menikmati kepedihan.
“Aku nggak apa-apa Ka, aku baik-baik aja…”
“Tapi kalau kamu terus begini, kamu akan terus merasa sakit!”
“Percaya sama aku, walaupun aku terus diperlakukan seperti ini, buktinya aku masih hidup, aku masih bisa bernapas, aku masih bisa mendapatkan nilai yang bagus. Aku yakin aku nggak kenapa-kenapa…” Ucapku yang membuat air mata Meriska pecah. Dia terharu.
“Vie, sekuat itu kah dirimu? Gimana cara kamu meyakini diri kamu kalu kamu baik-baik aja?”
            “Tatap mataku Ka, kamu tau kan kalau mata itu nggak bisa berbohong?”
Aku menggunakan cara unik-ku untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Meriska menyambutku kedalam pelukannya dengan membuka lebar tangannya. Aku membiarkan tubuhku masuk kedalamnya dan tak sengaja air mata-ku pecah sedikit yang akhrnya aku tahan.
Sepulang sekolah, seperti biasa aku menuju parkiran sepeda. Aku menemukan sepedah-ku dalam keadaan tergeletak di aspal dan ban depan-belakang bocor lagi juga posisi keranjang tak beraturan. Rasanya sangat menyesakkan. Aku menyambutnya dengan senyuman. Aku sengaja membiarkan drama ini terus berlanjut karena aku tak ingin menumbuhkan rasa kebencian. Bukan, bukan berarti aku takut membalasnya. Aku hanya tak ingin punya dendam. Walaupun aku dianggap orang sebagai pecundang, aku tetap diam. Karena aku tak tahu apa salahku yang membuat mereka menjadi seperti itu terhadapku. Diamku tak salah, diam bukan  berarti pecundang, diam itu emas.
15.50.00 No komentar

Rahasia. Akankah sebuah rahasia itu akan terbongkar? –maksudku- untuk apa rahasia terbongkar? Apa ada urusannya dengan mereka –yang ingin tahu tentang rahasia- dengan sebuah rahasia itu?
Kamu mengambil hikmah dari segi keseharianmu baru-baru ini.
Menyukai seseorang ? itu wajar. Karena setiap orang pasti memiliki rasa tertarik kepada lawan jenisnya. Tapi sepertinya telinga terasa panas saat empu nya digosipkan tengah menyukai si ini si itu… dan sebuah jalan pencegahannya adalah “Rahasia”
Untuk kala itu, hanya satu-tiga orang saja yang mengetahui. Namun kini, entah dari mana dan dari mulut siapa rahasia  itu menjelema menjadi sebuah gossip panas yang diperbincangkan orang-orang. Mungkinkah gossip itu datang dari sang tuan –pemilik- rahasia?.
Kamu sedang menyukai seseorang secara diam-diam?
Kamu suka jika dia-orang yang di sukai- menyapamu?
Kamu suka jika dia memanggilmu dengan kata special?
Kamu suka jika mendapatkan pesan dari dia?
Kamu suka jika dihampiri dia?
Apa kamu merasakan itu semua? Apakah pernyataan itu benar? Apa itu yang membuat kamu bahagia?
Tapi, bagaimana jika tiba-tiba kebahagiaan itu sesaat? Tenggelam oleh sesuatu yang bisa dibilang ‘gosip’.
Kamu suka jika inisial dia –orang yang kamu suka- tersebar?
Kamu suka jika temanmu yang lain tahu bahwa kamu menyukainya?
Kamu suka jika kamu –dengan dia- dijadikan bahan gossip?
Kamu suka jika temannya tahu tentang kamu yang menyukai dia?
Kamu suka jika dia tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya?
Tentu saja TIDAK!
Kalau semua itu terlanjur terjadi?  Harapan kamu pasti hancur berkeping-keping.
Bisa jadi –pada akhirnya- dia menjauh dari mu dan kamu tidak bisa lagi berhaarap mendekatinya.
Salah siapa? Teman mu yang mengumbar? Atau diri kamu?
Andaikan dunia ini punya hati, mengerti, dan selalu memahami… kamu pasti rasanya ingin menangis jika rencana yang kamu rangkai sendiri tiba-tiba hancur hanya karena sebuah gossip yang memang benar adanya seperti isi ‘rahasia’ itu.
Hikmah dari kesedihanmu itu adalah jangan biarkan seorangpun –yang ingin tahu ‘rahasia’- tahu tentang apa yang seharusnya menjadi privasi dirimu.

21.17.00 No komentar

Aku tengah santai duduk mendadak mengadah ke arah langit yang mengkelabu, daun-daun berterbangan kesana kemari tertiup hembusan angin yang berlari mengikuti arah awan hitam pergi. Orang-orang saling sibuk berjalan dengan membawa koper beroda dan troley yang dibawa. Ada pula yang tengah santai duduk menunggu kedatangan orang yang dinanti oleh mereka. Perlahan, butir-butir cair terjatuh dari langit secara bergantian, ada pun yang bersamaan. Saling berlomba untuk mencapai pijakan bumi dan ada pula yang menabrak segala yang ada dihadapannya sebelum mencapai tanah. Membuat segalanya menjadi basah. Aroma khas saat setiap hujan turun itu kembali tercium. Mengingatkan ku pada sekilas kenangan dua tahun yang lalu.
Sebuah pesan menggetarkan ponsel dari genggamanku. Namanya lagi-lagi tercetak di layar. Buru-buru aku tekan ‘open’ dan membaca isinya bersama desiran aneh di dalam dada.
Pesawat take off sebentar lagi. Apa kamu nggak jadi datang?
Sekuat tenaga aku tata perasaanku yang tak karuan. Setelah lama menatap layar, akhirnya tiga kata itu terkirim.
Iya, Tunggu saja.
Aku putar-putar benda mungil itu sambil menunggu acara selesai . Dengan rasa gelisah, khawatir jika Alvin akan pergi karena menungguku lama. Ada sesuatu dalam diriku yang mendesak untuk pergi segera menghampirinya dan parahnya aku tidak bisa menolak. Janji adalah janji, tetap harus ditepati.
Pagi itu, sudah aku janjikan perihal perpisahan dengan Alvin di suatu tempat yang tak asing lagi bagiku. Bandara. Akhirnya acara itu telah selesai, aku menyambut waktu yang dinanti pun dengan rasa tak tenang. Tanpa pikir panjang aku bergegas, berlari membawa kunci motor lalu melaju ke bandara.
Dalam hatiku berdoa, semoga saja aku tidak terlambat sampai disana. Saat itu bias cahaya matahari padam dan hanya mampu berpendar-pendar lemah dibalik awan. Sementara itu, angin sejak tadi meloncat-loncat dan menghantam apapun yang ditemuinya, dedaunan mendadak riuh. Angin berkuasa dan mengepung dimana-mana. Tak lama begitu, perlahan-lahan dari langit yang sesekali berdebum, akan turun titik-titik air, mula-mula lambat.
Aku menarik kencang gas mempercepat putaran roda yang mengelinding diatas aspal tanpa hiraukan langit yang sudah mengkelabu. Lalu, detik memeluk detik, titik-titik air itu menderas mengecup bumi. Segalanya mendadak cair. Baju atasan yang ku pakai akhirnya tejatuh tetesan-tetesan air hujan yang perlahan merambat membasahi seluruh sisi dan terasa berat. Dingin. Ketika saat sampai di gerbang, rintikan hujan semakin deras. Aku tak hiraukan itu dan terus melaju sampai mendapat sebuah tempat untuk berteduh.
Aku derapkan langkah kaki dengan ritme cepat.
“Huuuh.. dingin banget..”
Keluhku.
Seorang lelaki mengenakan sweater berwarna merah darah, berusia kira-kira lebih satu tahun diatasku, dan tingginya tidak jauh sama denganku. Barangkali hanya selisih empat senti, kulitnya putih bersih. Alvin.
“Kenapa malah bermain dengan rintik hujan? kalau kamu sakit gimana?”
Lelaki disebelahku melontar tanya. Aku menoleh padanya.
“ahh... hujan datang bukan untuk menjadi penyakit, dia datang untuk memberi kebahagiaan ..”
Aku menyahut sebentar.
Dari ekor mata aku melihat dia melepaskan sweater merah yang dipakainya. Lalu menggulurkan tangannya padaku memberikan sweater tebal itu.
“ahh kamu ini.. cepat pakai ini…”
Aku buru-buru menggeleng.
“Nggak usah, nanti kamu malah kedinginan. Ini udah lumayan kering kok.”
“Pakai!”
Aku terdiam. Tak tahu harus memberi jawaban apa.
“Aku nggak mau kamu jadi sakit nantinya.”
Lanjutnya melangkah pergi.
Aku masih terpaku, menatap punggungnya yang melesat jauh.
Selesai sudah memakai sweater milik Alvin, aku menuju tangga mencari Alvin. Tahu-tahu perhatianku tersedot pada sosok yang menatapku. Alvin.
Kususuri tiap rinci wajahnya. Kelam rambutnya tampak berkilau. Dahinya bersih , diikuti lengkung alisnya yang tebal menawan. Kelopak matanya mengepak-ngepak siaga dan bola di dalamnya begitu jernih dan berisi. Hidungnya mencuat , disusul rekah bibirnya. Dagunya menggantung tangguh. Wajahnya kokoh dan menyenangkan. Dia menoleh padaku. Lalu menghampiri.
“Sudah selesai? Apa kamu masih kedinginan?”
Tanyanya.
Tak lama Alvin tiba-tiba menarik tubuhku dalam pelukkannya. Membawaku menaiki tangga dan duduk di salah satu anak buahnya. Seketika itu juga, tubuh ku diam. Tak bisa berkutik jika sudah seperti ini. Tertinggalah deru napasku yang memburu-buru. Baik aku maupun dia. Kami sama-sama membiarkan detak dalam dada kami menyeruak keluar. Tertangkap telinga satu sama lain dengan jelasnya. Tak berusaha menyembunyikan lagi. Satu detik pun.
“Hangat…”
Aku memejam mata sambil mengeratkan pelukan. Melesak-lesakkan kepala di bahu dia mencari kenyamanan. Aku tersenyum sambil menepuk-nepuk punggungnya. Kepalaku melesak kian dalam. Menghirup aroma dia yang menggetarkan. Sejenak, aku berharap waktu berhenti bergulir. Biarkan kami seperti ini. Entah berapa lama yang jelas aku merasa nyaman dalam dekapan dia.
Alvin tak menyahut. Hanya pelukannya yang kian erat dan aku tahu itu bermakna. Dari detik ke detik kian hangat dan menghanyutkan. Dua pasang mata saling menatap lekat-lekat satu sama lain. Tergerak untuk saling mendekat. Aku menangkap deru napas dia. Menggetarkan. Detik meloncat detik. Kian dekat dan semakin kentara. Aku menelan ludah. Jantungku mendadak bagai di tabuh-tabuh sembarang. Dadaku kembang kempis tak terkontrol, sarafku bergetaran hebat. Saat ciuman hampir mendarat, aku tersentak kaget melihat jarum pada jam dinding yang berada dibelakangnya, sehingga membuat aku mendorong dia menjauh dan tergelak seketika. Dia menatap pasrah padaku, dan dia pun pamit untuk pergi dan melangkah ke pintu keberangkatan menuju teller untuk chek-in. Dia telah jauh , namun aroma tubuhnya masih tercium jelas, ah ternyata aroma itu tertinggal di sweater yang dipakai olehku. Pepisahan itu, aku menepatinya meskipun harus rela dibasahi air hujan yang mencoba menghadang jalan waktuku. Tetesan air yang jatuh dari langit adalah saksi bahwa aku benar-benar menepati janji.
Uraian kisah dibawah naungan hujan terhenti seketika saat seseorang yang ada dalam kenangan tadi memanggilku. Alvin. Dia telah kembali tepat di suasana hujan. Hujan selalu mempunyai banyak cara untuk mengulang kembali kisah cinta yang datang untuk menghangatkan.

17.33.00 No komentar
Newer Posts
Older Posts

Tentang Saya

Hanifa Khoirunnisaa

Mahasiswa D3 Teknik Informatika
Video Editor, Writer , Designer Graph.
Tobe a Creativepreneur!

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

  • Pengalaman SIPENMARU POLTEKKES Bandung 2015/2016
  • Sleep Walking : Sementara kah?
  • Lagu itu : mengingatkan aku kepada seseorang

Blog Archive

  • ►  2019 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (15)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2016 (11)
    • ►  September (3)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
  • ►  2015 (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2014 (6)
    • ▼  Juli (2)
      • Dear You : I should have...
      • Dear You : Someone who makes me wait
    • ►  Mei (4)
      • Angin Dan Kenangan
      • Diam, Buka Berarti Pecundang
      • Rahasia dan Kamu.
      • Kehangatan Dalam Hujan
  • ►  2013 (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2012 (8)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Februari (3)

Social Media

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates